Pengusaha Tak Bisa Lagi Efisiensi, Perlu Inovasi untuk Kerek Penjualan

Daya beli masyarakat masih rendah akibat pandemi Covid-19. Pelaku usaha pun melakukan berbagai inovasi pada produknya agar penjualan tetap dapat ditingkatkan,

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, inovasi menjadi kunci karena dunia usaha telah melakukan efisiensi secara maksimal. Inovasi tersebut dinilai efektif dalam menambah penjualan.

“Sudah tidak ada lagi upaya efisensi yang bisa dilakukan. Dunia usaha harus melakukan banyak inovasi untuk mendorong penjualan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (3/9).

Adapun bentuk inovasi yang dilakukan di antaranya seperti dengan menjual produk dalam kemasan yang lebih kecil sehingga harganya menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, pengusaha juga berupaya menjual produk dengan harga yang lebih murah.

Agar harga jual menjadi lebih murah, pelaku usaha juga menggunakan bahan baku alternatif dengan harga yang lebih murah. “Banyak inovasi lainnya supaya harga jual menjadi lebih murah,” ujar dia.

Alphonzus mengatakan pelaku usaha juga meminta pemerintah untuk bertindak lebih cepat agar perekonomian tidak terpuruk lebih dalam. Realisasi berbagai stimulus ataupun relaksasi yang diberikan saat ini menurutnya masih sangat lambat.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey berharap ada sinkronisasi kebijakan antara pemerintah daerah dan pusat yang dapat mendorong daya beli masyarakat.

“Di daerah, ritel modern yang menerapkan protokol dengan baik justru dibatasi jam operasionalnya. Ini membuat konsumsi tak maksimal,” kata Roy.

Menurutnya, upaya pembatasan jam operasional ritel dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebab, pembatasan tersebut bisa menunda transaksi yang dilakukan oleh karyawan usai pulang kerja.

Selain itu, ia menilai bantuan tunai untuk masyarakat kelompok bawah perlu diperpanjang dan ditingkatkan nominalnya. Hal ini dianggap efektif untuk meningkatkan konsumsi masyarakat.

Selanjutnya, Roy mengatakan sebagian dana untuk bantuan sembako sebaiknya dialihkan menjadi bantuan tunai. Untuk itu, komoditas dalam bantuan sembako perlu dibatasi hanya beras, gula, dan minyak goreng.

Dari sisi kebijakan fiskal, ia berharap pemerintah akan memberikan relaksasi pajak secara berkelanjutan. Kelonggaran pajak tersebut dinilai perlu untuk masyarakat berpendapatan rendah serta pengusaha UMKM yang tidak memiliki akses perbankan.

“Pengusaha ultramikro yang tidak memiliki akses perbankan mesti diberikan dukungan, kalau tidak mereka menderita,” ujar dia.

Adapun lemahnya daya beli tercermin pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 yang terkontraksi 5,32%. Merosotnya pertumbuhan disebabkan pengeluaran konsumsi rumah tangga terkontraksi hingga 5,51% dibandingkan periode yang sama pada 2019.

Padahal pada kuartal I masih konsumsi rumah tangga masih tumbuh 2,83%. Konsumsi rumah tangga merupakan kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pada kuartal II, hanya ada dua komponen konsumsi rumah tangga yang tak terkontraksi, yakni komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang tumbuh 2,36%, serta komponen kesehatan dan pendidikan yang juga tumbuh 2,02%.

Sumber : Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only