Harap-harap Cemas Industri Otomotif RI

Kukuh Kumara tengah gundah belakangan ini. Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) ini harap-harap cemas, menunggu jawaban Kementerian Keuangan terhadap usulan Kementerian Perindustrian soal relaksasi pajak pembelian mobil baru pada 14 September lalu.

Sudah dua pekan Menteri Keuangan Sri Mulyani belum memberikan atas usulan itu. Kukuh tampak kurang senang dengan kondisi terkini.

Dia justru khawatir dengan usulan Menteri Perindustrian Agus G Kartasasmita kepada koleganya. Meski tujuannya baik, mendongkrak kinerja industri manufaktur di republik ini yang terpuruk kala pandemi Covid-19.

Wacana relaksasi pajak ini membuat pasar otomotif gaduh. Ada kecenderungan konsumen menahan pembelian mobil baru. Mereka menunggu pajak 0 persen pembelian mobil baru segera direalisasikan pemerintah.

“Padahal kami melihat ada kelompok masyarakat masih memiliki uang di masa pandemi ini. Mereka yang punya uang ini akan membeli mobil untuk menghindari kendaraan umum guna mencegah penyebaran Covid-19,” ujar Kukuh Kumara pada merdeka.com, kemarin.

Kementerian Perindustrian menyebutkan di kuartal II tahun ini, kinerja industri manufaktur nasional minus 5,37 persen akibat pandemi. Termasuk industri otomotif. Data Gaikindo mencatat volume produksi industri otomotif anjlok 49 persen menjadi 427.607 unit per Agustus lalu. Dari sisi penjualan, kondisinya lebih parah lagi.

Pasar mobil anjlok 70 persen di April dan makin anjlok jadi 82 persen di Mei. Sebagai ilustrasi, penjualan mobil tinggal 17.083 unit di Mei, padahal di bulan sama tahun lalu mencapai 93 ribu unit.

Relaksasi pajak mobil baru ini ‘melahirkan’ wacana harga on the road mobil bisa turun hingga 40 persen. Dengan kata lain, mobil baru akan dijual lebih murah 40 persen dari harga sekarang. Publik pun membuat penghitungan sederhana dan asal-asalan. Seperti harga jual mobil sejuta umat, Toyota Avanza, jadi di bawah Rp 150 juta dari harga sekarang.

Di republik ini, produk otomotif dikenai beberapa pajak oleh pemerintah. Pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) –persentasenya tergantung tipe dan spek mobilnya, dipungut oleh pemerintah pusat (Kementerian Keuangan).

Sementara bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) 12,5 persen dan pajak kendaraan bermotor (PKB) 2,5 persen, dipungut pemerintah daerah/provinsi. Harga jual termasuk seluruh pajak ini disebut harga on the road (OTR), yang mesti dibayar konsumen saat membeli mobil baru di diler.

“Kami khawatir penjualan mobil di September turun lagi, karena konsumen menahan membeli mobil. Padahal penjualan mobil di Juni hingga Agustus ada kenaikan dengan volume sekitar 30 ribu unit per bulan,” kata Kukuh.

Donny Saputra, Direktur Pemasaran 4W PT Suzuki Indomobil Sales, juga memiliki perasaan khawatir serupa. Untuk itu, dia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan jawabannya dengan cepat. “Cepat diputuskan diterima atau tidak, jangan berlarut-larut,” ujarnya pada merdeka.com.

Beberapa manajemen di perusahaan otomotif yang dihubungi merdeka.com mengakui ada gelagat kurang positif dari wacana pengurangan pajak mobil baru ini. Sayangnya, mereka minta tidak disebutkan namanya.

“Bisnis kami di otomotif banyak, mulai dari mobil baru, mobil bekas, dan pembiayaan. Wacana ini mungkin bisa membuat penjualan mobil baru bisa naik, tapi berdampak negatif ke bisnis mobil bekas kami. Perusahaan pembiayaan juga terdampak. Jadi kondisi ini bagai buah simalakama bagi kami,” katanya.

Secara umum, Donny mengakui relaksasi pajak mobil bisa meningkatkan penjualan kala pandemi. Akan lebih baik lagi bila ditambah stimulus regulasi pengurangan PPnBM dan BBNKB. Tentu ini yang diharapkan pasar. Sehingga semakin merangsang pasar dunia otomotif Indonesia.

Keputusan ini nantinya juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, inovasi regulasi, dan produk. Apalagi di tengah ekonomi mengalami kontraksi negatif. Adanya rangsangan ini, tentu para pabrikan bakal meluncurkan banyak model terbaru.

Donny memperkirakan, bila relaksasi disetujui, harga jual mobil akan turun sedikitnya 20 persen dari pengurangan BBNKB dan PPnBM. Ini bisa menjadi faktor stimulus bagi konsumen potensial. Seperti di kasus mobil murah ramah lingkungan (LCGC), yang mana pengurangan PPnBM mengurangi harga jualnya.

“Hal ini akan mendorong pembelian yang ditunda, bahkan bisa merangsang intensi untuk membeli mobil baru. Kami harapkan seperti efek bola salju, mendorong konsumen yang menunda mobil baru, sehingga volume penjualan semakin besar dan besar,” pungkas dia.

Harapan Jadi Lokomotif Ekonomi Nasional

Gaikindo memberikan gambaran besar di balik usulan penghapusan pajak mobil baru itu. Usulan ini bukan soal perdagangan saja alias jual-beli mobil. Ini strategi sementara supaya industri padat karya yang memiliki banyak industri pendukung ini bisa bangkit.

Dibangun pada era 1970-an, industri otomotif merupakan salah satu industri besar di republik ini. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Kebijakan Fiskal, BPS, dan BKPM, kontribusi industri otomotif terhadap perekonomian nasional (GDP) sebesar 1,76 persen, setara Rp 260,9 triliun pada tahun lalu. Salah satu kontribusi ini datang dari pajak penjualan mobil.

Industri otomotif juga masuk dalam kelompok 10 besar investasi asing langsung (FDI) di Indonesia. Pada tahun lalu, nilai investasinya mencapai US$ 1 miliar dengan investor teratas dari Jepang, Singapura, dan China.

Saat ini jumlah pekerja di industri otomotif Indonesia mencapai 1,5 juta orang. Namun, akibat pandemi, industri otomotif memiliki utilisasi rendah akibat anjloknya penjualan sejak April lalu. Saat normal penjualan mobil nasional mencapai 80 ribu unit per bulan, tapi kini sekitar 30 ribu unit.

Penjualan mobil paling parah terjadi pada Mei lalu, pasar turun 82 persen. Meski di bulan berikutnya hingga Agustus, penjualan mulai merangkak naik. Namun secara keseluruhan (Januari-Agustus), penjualan mobil sejatinya terpukul, akibat turun 46 persen.

Kondisi ini tentu berat bagi pabrikan otomotif. Sementara pasar ekspor juga tidak bisa diharapkan, karena negara-negara tujuan ekspor juga terganggu akibat pandemi ini.

Maka itu, Gaikindo mengusulkan pajak mobil baru 0 persen sebagai stimulus jangka pendek saja, misalnya hingga Desember tahun ini. Tujuannya supaya penjualan mobil bisa normal kembali, minimal mendekati tahun lalu, seperti 70 ribu unit per bulan.

“Kalau usulan ini berjalan, ibarat lokomotif, industri otomotif nasional akan menarik gerbong usaha lainnya seperti industri komponen tier 2 dan 3, serta industri aftermarket. Ekonomi nasional juga bergulir karena 1,5 juta orang yang bekerja memiliki efek bola salju sangat besar. Pemahaman ini lah yang mesti diketahui bersama,” ungkap Sekjen Kukuh.

Menurutnya, sebenarnya usulan ini tidak diinginkan, karena negara juga butuh pendanaan antara lain dari pajak. Namun, usulan ini hanya stimulus, momentum perbaikan industri otomotif nasional. “Ini (usulan) katalisator.”

Target Tahun Ini Sulit Dicapai

Hingga Agustus lalu, penjualan mobil di Tanah Air Indonesia tercatat 364.034 unit. Jumlah ini turun 46 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Dengan waktu praktis tinggal tiga bulan di tahun ini, para pabrikan otomotif di republik ini mesti bekerja keras supaya bisa mencapai target 600 ribu unit. Dengan realisasi 364 ribu unit per Agustus, ada PR besar bagi pabrikan karena harus mampu menjual minimal 244 ribu unit di empat bulan terakhir ini. Atau per bulan harus mampu menjual sekitar 60 ribu unit.

Anton Jimmi Suwandy, Direktur Pemasaran PT Toyota–Astra Motor (TAM), mengakui sulit memprediksi penjualan di masa pandemi ini hingga akhir tahun ini. Selama pandemi, penjualan Toyota turun 45 persen jadi 115 ribu unit per Agustus.

“Tapi tampaknya pasar tahun ini tidak mencapai target Gaikindo. Dengan tiga bulan tersisa, sulit mencapai 600 ribu unit. Prediksi kami, penjualan di bawah 600 ribu unit, semoga bisa di atas 550 ribu unit,” kata Anton, Selasa lalu.

Sumber : Merdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only