Pengusaha Belum Banyak Manfaatkan Insentif Pajak

Minim sosialisasi, penyaluran insentif pajak di program PEN masih belum maksimal.

JAKARTA. Realisasi insentif pajak dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih sangat rendah. Sejak digelontorkan sekitar April 2020, stimulus fiskal yang ditangani oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu) ini jauh di bawah rata-rata penyerapan program PEN.

Data Kemkeu menunjukkan realisasi insentif pajak hingga 19 Oktober 2020 sebesar Rp 29,68 triliun, naik 1,61% dari realisasi per akhir September 2020. Realisasi itu baru mencapai 24,5% dari total pagu anggaran sejumlah Rp 120,61 triliun.

Artinya, anggaran yang masih tersedia hingga dua bulan ke depan sebesar Rp 90,93 triliun. Realisasi insentif pajak di bawah presentase total penyerapan program PEN di periode sama yang sudah mencapai Rp 344, 11 triliun atau setara dengan 49,5% dari total anggaran Rp 695,2 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan pagu anggaran insentif pajak berbeda dengan program PEN lainnya, Sebab, sebagaian insentif merupakan cadangan. “Kalau yang memanfaatkan sebenarnya sudah cukup banyak,” katanya Minggu (25/10).

Insentif pajak dalam program PEN terbagi menjadi lima jenis. Pertama, insentif pajak penghasilan (PPh) 21 ditanggung pemerintah (DTP) dengan pagu Rp 25,66 triliun. Kedua, pembebasan PPh Pasal 22 impor senilai Rp 14,75 triliun. Ketiga, pengurangan angsuran PPh pasal 25 senilai Rp 14,4 triliun.

Wajib pajak yang memanfaatkan insentif pajak sebetulnya cukup banyak.

Keempat, percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 5,8 triliun. Kelima, penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% Rp 20 triliun. Sehingga totalnya tembus Rp 80,61 triliun.

Nah, sisa anggaran insentif pajak sebesar Rp 40 triliun atau setara 33,16% dari pagu diperuntukan sebagai cadangan perpanjangan waktu insentif PPh Pasal 21 DTP dan stimulus pajak lainnya sampai dengan akhir tahun ini.

Meski penyerapan insentif pajak rendah, Kemkeu mengklaim insentif tersebut punya dampak yang cukup signifikan terhadap penerimaan pajak. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut realisasi PPh Badan. Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat sampai dengan akhir September lalu realisasi PPh Badan sebesar Rp 119,94 triliun. Angka tersebut kontraksi hingga 30,4% year on year (yoy). Secara berurutan pada Juli, Agustus, September pajak korporasi masing-masing minus 45,5%, minus 49,11% dan minus 57,74%.

“Tekanan PPh Badan terjadi karena di cicilan masaa diturunkan dari 30% ke 50%, itu terlihat dari penerimaan pajak badan terutama di Juli-Agustus di mana kami sudah menerapkan kebijakan tersebut,” tutur Sri Mulyani pekan lalu.

Ekonomi jalan dahulu

Ekonom Chatib Basri menyarankan pemerintah untuk menahan pemberian insentif pajak bagi dunia usaha. Karena jika ekonomi lesu maka harusnya sejalan dengan penyerapan insentif yang rendah. Saat pandemi, banyak usaha yang merugi, sehingga tidak bayar pajak.

Ini sesuai dengan menurunnya aktivitas konsumsi seiring pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi. Apalagi kegiatan bisnis belum sepenuhnya pulih seperti semula. “Begitu ekonomi berjalan, ini baru bisa diberikan,” kata dia beberapa waktu lalu.

Lain pendapat, pengamat pajak Center for Indonesia (CITA) Fajry Akbar menyebut ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya realisasi insentif pajak. Misalnya, penyebab utama adalah soal sosialisasi kebijakan insentif tersebut masih terbatas. Selain itu ia menduga masih ada ketakutan dari wajib pajak yang khawatir jika memanfaatkan insentif tersebut malah bisa diperiksa ke depannya.

“Mereka lebih memilih aman saja,” tuturnya. Selain itu insentif yang perlu diberikan ke pebisnis adalah pajak di daerah.

Sumber: Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only