JAKARTA. Disahkannya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bukan saja membuat repot kalangan buruh. Beleid kontroversial ini juga bakal merepotkan pemerintah dari sisi anggaran.
Pasalnya, beleid sapu jagat tersebut menelurkan dua program baru yang belum difasilitasi anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) 2021. Sementara anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai dua program baru tersebut tidak sedikit.
Kedua program anyar itu adalah pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) serta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pembentukan LPI, misalnya, diatur dalam pasal 161 ayat 1 Bab X UU Ciptaker yang berbunyi: bahwa dalam rangka pengelolaan investasi dibentuk Lembaga Pengelola Investasi.
Sementara JKP adalah program jaminan sosial baru yang diatur dalam pasal 46A UU Ciptaker yang merevisi UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Kedua program itu membutuhkan alokasi anggaran, yakni masing-masing Rp 75 triliun untuk modal awal LPI serta dana Rp 6 triliun untuk program JKP.
Khusus anggaran LPI sebesar Rp 75 triliun itu memang tak semuanya menjadi beban APBN. Alokasi anggaran yang akan diambil dari APBN hanya berkisar Rp 30 triliun.
“Itu dalam bentuk dana tunai,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sementara, sisanya akan disertakan dalam bentuk barang milik negara, saham negara, hingga piutang negara.
Adapun, sumber pendanaan JKP pada tahap awal, semuanya akan berasal dari anggaran negara alias pemerintah. “Dana awal untuk program JKP akan diambil dari APBN,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Selanjutnya, sumber iuran JKP akan mengandalkan rekomposisi iuran program jaminan sosial dan dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
Masuknya dua program yang baru ini, tentu saja akan semakin memberatkan beban APBN tahun depan. “Realistisnya memang masuk di APBN 2021,” ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.
Artinya, ada alokasi anggaran baru senilai Rp 36 triliun yang bersumber dari APBN 2021 untuk membiayai kedua program tersebut.
Nah, persoalannya, sejak awal APBN 2021 disusun, pemerintah dan DPR belum memperhitungkan anggaran tersebut. Maklumlah, saat itu UU Ciptaker belum juga disahkan oleh DPR.
Yang pasti, masuknya dua program itu bakal membuat defisit anggaran semakin membesar. Kondisi ini jelas memaksa pemerintah untuk kembali bergegas mencari siasat guna menutup defisit.
Mengandalkan pendapatan negara, termasuk dari sektor perpajakan rasanya juga sulit di tengah ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi akibat pandemi.
Kondisi suram ini bahkan diprediksi berlanjut hingga tahun depan, sehingga membayangi target-target pemerintah dalam APBN.
Kombinasi LPI dan JKP plus ketidakpastian ekonomi ini jelas menunjukkan adanya kenaikan risiko fiskal yang bisa memperlebar defisit anggaran 2021.
Revisi APBN
Nah, untuk mengantisipasi, pemerintah akhirnya membuka peluang melakukan revisi APBN 2021.APBN ini kan dirancang dinamis dan sangat memperhatikan dinamika yang ada, jadi ada keleluasaan merevisi, ujar Yustinus.
Dalam revisi nantinya, pemerintah bakal mencari siasat guna menutup potensi pelebaran defisit anggaran yang sudah di depan mata.
Pemerintah sendiri telah menetapkan target defisit anggaran 2021 sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,70% dari produk domestik bruto (PDB).
Asumsi defisit itu diperoleh dari selisih antara penerimaan dikurangi belanja negara. Asal tahu saja, pemerintah menargetkan penerimaan di APBN 2021 sebesar Rp 1743,6 triliun.
Sementara belanja negara sebesar Rp 2.750 triliun. Asumsi defisit itu pun disusun dengan target penerimaan negara yang sangat optimistis.
Pasalnya, kalau kita cermati, rasio penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara dipatok sebesar 82,8% atau Rp 1.444,5 triliun di APBN 2021. Lebih tinggi dari rata-rata rasio perpajakan sebelum adanya Covid-19 yang berada di kisaran 80%.
“Rasio itu pun didapat dari penerimaan perpajakan yang belum pernah mencapai target dari 2017, apalagi di masa Covid-19 saat ini,” ujar Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan.
Tahun ini saja, proporsi penerimaan perpajakan baru 46,9% dari pendapatan negara hingga Agustus 2020. Artinya, penerimaan pajak dari Januari-Agustus 2020 hanya 6,7% per bulan. “Sehingga perkiraan kami penerimaan perpajakan hanya 73,7%,” jelasnya.
Kondisi tahun depan tidak jauh berbeda mengingat kondisi ekonomi masih sulit. Alhasil, bila APBN 2021 tak direvisi, maka target shortfall, yakni selisih kurang antara realisasi dan target penerimaan pajak akan semakin besar.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan, belajar dari episode krisis sebelumnya, proses pemulihan penerimaan perpajakan masih memerlukan waktu recover lebih lama dibandingkan pertumbuhan ekonomi.
Artinya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sudah recover di tahun depan, tidak serta merta diikuti dengan proses recovery perpajakan.
Pasalnya, sektor industri yang menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar masih akan belum pulih secara cepat. Nah, di saat penerimaan belum maksimal, otomatis defisit anggaran semakin meningkat.
Core memperkirakan, defisit anggaran 2021 akan berada di kisaran Rp 1.100 triliun sampai Rp 1.200 triliun. Itu pun dengan asumsi pemerintah tidak melakukan perubahan komposisi belanja, ujar Yusuf.
Artinya, prediksi itu belum memperhitungkan alokasi anggaran baru untuk LPI maupun JKP. Nah, dengan masuknya kebutuhan anggaran kedua porgram itu jelas akan ada perubahan pada komposisi belanja. Sehingga, defisit anggaran bisa lebih dari itu.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, jurus andalan pemerintah dalam menutup defisit selalu bersumber dari utang. Seiring dengan potensi defisit yangsemakin membesar, jumah utang pemerintah dipastikan bakal meningkat.
Pada tahun 2021 mendatang, pemerintah menargetkan rasio utang sebesar 41,09% terhadap PDB. Nilai tersebut meningkat dibanding tahun ini yang dipatok sebesar 37,6% dari PDB.
Adapun pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp 1.177,35 triliun. Target belanja utang itu tidak realistis dan perlu revisi, ujar Direktur Eksekutif Indef, Ahmad Tauhid.
Dalam proyeksi Indef, rasio utang di 2021 bisa mengalami kenaikan 43%-47% dari PDB. Untuk menekan rasio utang, pemerintah perlu melakukan renegosiasi utang khususnya bilateral dan multilateral.
Apabila tidak dilakukan, maka pemerintah perlu mewaspadai terjadinya fluktuasi nilai tukar di 2021. Hal ini dapat menjadi tambahan beban bagi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang jatuh tempo..
Over ambisius
Bukan saja soal target defisit dan penerimaan negara, target pertumbuhan ekonomi dan asumsi makro lainnya yang ditetapkan dalam APBN 2021 juga harus direvisi. Terlalu muluk-muluk, ujar Tauhid.
Sebut saja penetapan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5%. Ini menjadi proyeksi yang terlalu ambisius di tengah resesi ekonomi dan pandemi.
Ironisnya, alokasi dana dalam APBN 2021 juga tidak fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Padahal, dua hal itu menjadi kunci utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi di tahun depan.
Hal ini bisa dilihat dari alokasi anggaran kementerian/lembaga yang banyak salah sasaran. Contohnya, anggaran Kementerian Perindustrian (Kemperin) tahun depan yang hanya Rp 3,1 triliun, sangat kecil jika dibandingkan anggaran kementerian strategis lainnya.
Padahal, pemerintah mendorong agar reindustrialisasi bisa menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi tahum depan. Sebagai penanggung jawab program reindustrialisasi, alokasi dari sisi anggaran harusnya lebih besar.
“Perhatian harusnya diberikan pada Kemperin sebagai upaya mendorong ekonomi di tahun depan,” ujar Yusuf.
Pemerintah justru menambah alokasi anggaran infrastruktur dari Rp 281,1 triliun pada 2020 menjadi Rp 414 triliun. Begitu juga anggaran Kementerian Pertahanan naik jadi Rp 137 triliun dari Rp 117,9 triliun tahun ini. Sementara Polri naik dari Rp 92,6 triliun menjadi Rp 112,1 triliun.
Tak heran bila tiga K/L itu menjadi pos anggaran terbesar dalam APBN 2021. Padahal, infrastruktur tidak berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi dalam waktu dekat. Begitu pula dengan keamanan dan ketertiban.
Ironisnya, anggaran bantun sosial bansos 2021 justru turun menjadi Rp 161 triliun dari tahun ini yang mencapai Rp 174 triliun.
Di sisi lain, anggaran kesehatan dipangkas dari Rp 212,5 triliun (2020) menjadi Rp 169,7 triliun (2021). Tentu ini tidak selaras dengan upaya pemerintah mendongrak daya beli masyarakat, cetusnya.
Ubaidi Socheh Hamidi, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKF Kemkeu, membantah anggapan itu dengan mengatakan, bahwa desain anggaran 2021 tetap berfokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Menurut dia, ada tujuh hal yang menjadi fokus APBN untuk mendorong ekonomi lewat belanja negara di tahun depan, yakni pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, infrastruktur, ketahanan pangan, pariwisata, dan optimalisasi ICT.
Khusus anggaran kesehatan, kendati secara nominal turun, nilai anggaran kesehatan masih 6,2% dari PDB, di atas 5% sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Turunnya anggaran kesehatan lebih disebabkan karena turunnya belanja non kementerian, seperti stimulus dan juga sarana/prasarana kesehatan. Sementara anggaran Kementerian Kesehatan naik dari Rp 78,5 triliun jadi Rp 84 triliun.
Kami berharap ekonomi tahun depan masih bisa rebound walau tetap berhati-hati dengan risiko,” ujarnya.
Soal sumber anggaran tahun depan diakui memang akan didominasi dari utang. Namun, saat ekonomi pulih dan masyarakat kembali membayar pajak, maka ketergantungan terhadap utang semakin berkurang.
“Sehingga negara bisa lebih mandiri dan berkesinambungan untuk bisa bangkit dan maju,” ujar Yustinus.
Sumber: Tabloid Kontan
Leave a Reply