Setoran Pajak Digital Kian Tebal

JAKARTA — Setoran pajak pertambahan nilai yang berasal dari transaksi atas perdagangan melalui sistem elektronik pada bulan lalu tercatat mencapai Rp195 miliar.

Angka tersebut naik dibandingkan dengan setoran bulan pertama saat pajak digital diimplementasikan yang hanya Rp97 miliar. D ana Rp195 miliar tersebut berasal dari 16 penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang ditunjuk oleh pemerintah.

Dengan demikian, nilai transaksi dari 16 wajib pungut itu sekitar Rp1,95 triliun. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, setoran itu berpotensi makin besar seiring dengan terus bertambahnya PMSE yang ditunjuk oleh pemerintah.

“Untuk pemungutan selama September 2020 yang disetorkan akhir Oktober kemarin oleh 16 PMSE yang kita tunjuk pada dua gelombang pertama, mereka menyetor Rp195 miliar. Transaksi satu bulan,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (17/11).

Yoga menambahkan, otoritas fiskal akan terus berkomunikasi dengan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Hal ini dilakukan untuk menciptakan keadilan terkait dengan sistem pemajakan di Tanah Air.

Selain itu, implementasi pengutipan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi digital itu juga akan membantu pemerintah mengejar target pajak yang makin sulit terealisasi. “Kami terus berkomunikasi dengan pelaku PMSE baik dalam negeri maupun luar negeri.

Sasaran kami seluruh PMSE yang menjual produk digital luar negeri (asing) dapat kita tunjuk segera,” jelasnya. Di sisi lain, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan kembali menunjuk 10 perusahaan yang memenuhi kriteria sebagai pe- mungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.

Sepuluh perusahaan itu adalah Cleverbridge AG Corporation, Hewlett-Packard Enterprise USA, Softlayer Dutch Holdings B.V. (IBM), PT Bukalapak.com, dan PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada).

Selain itu juga PT Fashion Eservices Indonesia (Zalora), PT Tokopedia, PT Global Digital Niaga (Blibli.com), Valve Corporation (Steam), dan beIN Sports Asia Pte Limited.

Dengan demikian, per 1 Desember 2020 para pelaku usaha tersebut akan mulai memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia. Jumlah PPN yang harus dibayar pelanggan adalah 10% dari harga sebelum pajak, dan harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN.

“Jumlah total yang ditunjuk sebagai pemungut PPN hingga hari ini berjumlah 46 badan usaha,” kata Yoga. Khusus untuk marketplace yang merupakan wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut, maka pemungutan PPN hanya dilakukan atas penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar negeri yang menjual melalui marketplace tersebut.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, potensi penerimaan pajak digital dari sisi PPN sebenarnya sangat rendah. Pasalnya, karakteristik dari masyarakat Indonesia adalah melakukan belanja dengan harga semurah mungkin. “Memang potensi (dari PPN di Indonesia) masih rendah,” katanya.

PAJAK PENGHASILAN

Menurutnya, yang patut dicermati adalah hasil temuan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) terkait dengan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang sampai saat ini tak ada kemajuan. Organisasi tersebut menemukan bahwa negara berkembang akan menerima dampak yang kurang positif dari implementasi proposal Pilar 1 (Unified Approach) dan Pilar 2 (Global Anti-Base Erosion).

“Dampak implementasi Pilar I dan Pilar II, nyatanya yang paling diuntungkan adalah negara maju. Karena memang pengguna premiumnya ada di sana,” ujarnya. Bisnis mencatat, pilar pertama dalam proposal tersebut fokus ke pembagian hak pemajakan borderless .

Sementara itu, pilar kedua dimaksudkan untuk menghindari erosi perpajakan secara global. Penerapan PPh terhadap trans- aksi digital maupun pajak transaksi elektronik (PTE) memang kian mendesak karena gagalnya konsesus itu bisa menimbulkan ketidakpastian hak pemajakan bagi pemerintah.

Pemerintah pun sejauh ini masih belum menunjukkan sikap nyata, kendati memiliki legalitas melalui UU No. 2/2020. Dengan UU tersebut, pada dasarnya pemerintah bisa mengedepankan pengenaan PPh melalui adanya perubahan threshold bentuk usaha tetap (BUT) untuk menjamin hak pemajakan.

Jika terkendala oleh persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) pemerintah bisa masuk ke PTE. Baik PPh maupun PTE adalah wujud sikap kedaulatan pajak Indonesia di tengah prospek konsensus yang tak menentu.

PTE juga dapat digunakan sebagai upaya menekan negara yang tidak berkomitmen untuk melanjutkan rencana blueprint pajak digital OECD

Sumber : Harian bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only