Sri Mulyani Buka-bukaan Utang Pemerintah Bengkak

Jakarta -Pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh penjuru dunia memberikan dampak besar terhadap perekonomian. Virus yang sudah berjalan lebih dari sembilan bulan ini membuat defisit anggaran banyak negara melebar.

Defisit yang melebar menandakan jumlah utang pemerintah suatu negara pun membengkak, termasuk Indonesia. Pemerintah melebarkan defisit ke level 6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB) dari yang sebelumnya 1,76%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pelebaran defisit APBN merupakan konsekuensi bagi seluruh negara yang terdampak pandemi COVID-19.

Sri Mulyani mengatakan, pelebaran defisit APBN mengakibatkan rasio utang pemerintah terhadap PDB meningkat. Namun dirinya memastikan rasio utang masih berada di level yang terkendali.

“Jadi artinya memang kita tadinya APBN kita defisitnya sekitar Rp 300 triliun atau 1,7% dari GDP menjadi 6,3%, yang tadi Rp 300 triliun menjadi lebih dari Rp 1.000 triliun,” kata Sri Mulyani dalam acara Blak-blakan bersama detikcom, Rabu (9/12/2020).

Pelebaran defisit APBN, dijelaskan Sri Mulyani karena pemerintah membutuhkan anggaran belanja yang lebih besar dan di satu sisi sumber penerimaan negara yang berasal dari pajak, bea dan cukai, serta PNBP menurun akibat terdampak COVID-19.

Sri Mulyani mengungkapkan selama pandemi pemerintah sudah memberikan banyak bantuan kepada enam sektor seperti kesehatan, dukungan usaha, dukungan UMKM, pembiayaan korporasi, perlindungan sosial, dan dukungan sektoral K/L dan pemerintah daerah. Anggaran bantuan di enam klaster ini mencapai Rp 695,2 triliun dan masuk sebagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

“Kalau dari sisi penerimaannya meski kita memberikan berbagai insentif perpajakan itu tapi perusahaan dan individu mengalami penurunan, dari volume, pekerjaan mereka, penerimaan mereka bahkan ada yang sampai sudah hampir tutup,” katanya.

“Jadi konsentrasi pemerintah bagaimana rakyat dan perusahaan-perusahaan itu bisa survive, karena kita tidak ingin ekonominya mengalami kerusakan yang permanen akibat COVID. Itu yang harus dihindarkan, kalau mengalami shock iya pasti, tapi jangan sampai karena shock ini terjadi permanent damage atau kerusakan permanen. Nah di sinilah APBN masuk sebagai salah satu yang menjadi bumper terhadap shock,” tambahnya.

Meski defisit APBN melebar, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini memastikan rasio utang pemerintah terhadap PDB masih terkendali dengan baik. Sri Mulyani mengatakan konsekuensi pemenuhan kebutuhan anggaran belanja negara membuat rasio utang meningkat ke level 36% sampai 37%.

Peningkatan rasio utang pemerintah menjadi 36% sampai 37% terhadap GDP, dikatakan Sri Mulyani masih jauh lebih terkendali dibandingkan negara-negara lain yang terdampak COVID-19. Dia mencontohkan seperti Kanada, Inggris, dan negara eropa lainnya.

“Indonesia (defisit) 6,34% untuk penanganan COVID saja kita pakai 4,2% dari GDP artinya kalau utang kita ada di 30% dari GDP kita mungkin naik ke 36-37% dari GDP di mana 4,2% untuk penanganan COVID sendiri,” ujarnya.

“Kalau seperti Inggris, Kanada, atau di Eropa itu utangnya sudah di 90% atau 80% dan sekarang nambah 20% atau 15% jadi sudah mendekati 100%,” tambahnya.

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah mencapai Rp 5.877,71 triliun hingga Oktober 2020. Angka itu meningkat Rp 120,84 triliun dari bulan sebelumnya bahkan naik Rp 1.121,58 triliun jika dibandingkan dengan Oktober 2019 yang sebesar Rp 4.756,13 triliun.

Dengan total utang pemerintah yang mencapai Rp 5.877,71 triliun maka rasio utang pemerintah menjadi 37,84% terhadap PDB di Oktober 2020.

Sumber : Detik.com
Tgl : 10 Des 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only