Kalah Sengketa Pajak dengan DJP, Ini yang Dilakukan PGN

JAKARTA, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN buka suara terkait putusan Mahkamah Agung (MA), yang memenangkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan atas perkara sengketa pajak.

Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama, mengatakan, terkait sengketa atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013, pihaknya memang tidak memungut pajak kepada konsumen, sesuai dengan peraturan penjualan gas bumi melalui infrastruktur jaringan pipa yang tidak dikenai PPN sesuai Pasal 4A ayat 2 huruf a UU PPN.

“Selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas bumi sesuai dengan peraturan tersebut,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (5/1/2021).

Oleh karenanya, Rachmat mengaskan, terkait potensi perseroan berkewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 Triliun, PGN akan tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut.

Selain itu, perusahaan gas pelat merah itu juga akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan perundang-undangan.

“Sehingga perseroan dapat mengelola kondisi keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan pemerintah,” tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, PGN kalah dalam sengketa pajak melawan DJP Kementerian Keuangan di tingkat MA.

Dalam penjelasan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagaimana dikutip pada Senin (4/1/2021), sengketa pajak antara PGN dengan DJP tersebut merupakan perkara atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013 yang telah dilaporkan di dalam catatan laporan keuangan perseroan per 31 Desember 2017.

“Sengketa tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 (PMK) terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi,” kata Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama.

PGN menyebut, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan perseroan.

Pada Juni 1998 Perseroan menetapkan harga gas dalam dollar AS/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.

Rachmat bilang, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan perseroan berpendapat harga dalam dollar AS/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.

Belakangan, atas penafsiran tersebut, DJP kemudian menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak.

Sumber : Kompas.com, Selasa 05 Januari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only