Keuangan Negara Lebih Rentan Karena Utang

Rasio beban bunga utang terhadap pendapatan tahun ini tertinggi dalam lima tahun terakhir.

JAKARTA. Kerentanan fiskal Indonesia berpotensi mengalami peningkatan. Kerentanan fiskal ini, tergambar dari meningkatnya rasio beban bunga utang pemerintah terhadap penerimaan negara alias interest to revenue ratio.

Dalam publikasi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) berjudul Analisis Keberlanjutan Fiskal Jangka Panjang tahun 2019, interest to revenue ratio merupakan indikator untuk mengukur seberapa besar kapasitas pendapatan negara dalam mengkaver beban bunga utang.

Menurut BKF, semakin besar interest to revenue ratio, berarti beban bunga utang meningkat dan kapasitas pendapatan untuk mendorong kegiatan produktif semakin mengecil. Ini berarti, kerentanan fiskal meningkat karena risiko semakin besar dibandingkan produktivitasnya.

Risiko ini berpotensi mengganggu keberlanjutan fiskal dan harus diwaspadai oleh pemerintah. Apalagi, kondisi perekonomian belum sepenuhnya pulih dari paparan efek Covid-19, meski vaksinasi Covid-19 segera digelar.

Menilik data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, pemerintah mengalokasikan dana pembayaran bunga utang sekitar Rp 373,26 triliun. Nilai tersebut meningkat 18,83% dibanding realisasi tahun 2020 yang tercatat sebesar Rp 314,1 triliun.

Beban pembayaran bunga utang yang bakal dibayarkan pemerintah pada tahun ini bakal lebih berat. Pasalnya, kenaikan beban utang, terjadi pada saat pemerintah kesulitan mencapai target penerimaan negara dari pajak.

Tambahan utang jangan lebih besar dari tambahan penerimaan.

Sebagai gambaran, tahun lalu penerimaan pajak, tumpuan pemasukan negara, tekor lagi. Realisasi penerimaan pajak tahun lalu sekitar Rp 1.070 triliun atau setara 89,3% dari target penerimaan pajak Rp 1.198,8 triliun. Adapun total realisasi pendapatan negara tahun lalu senilai Rp 1.633,6 triliun.

Alhasil, target penerimaan pajak tahun ini yang sebesar Rp 1.229,6 triliun, tumbuh cukup tinggi mencapai 14,92% yoy. Sementara pendapatan negara tahun ini yang sebesar Rp 1.743,6 triliun, tumbuh 6,73% yoy.

Hitungan kontan, interest to revenue ratio tahun ini, mencapai 21,41%. Angka tersebut naik dibandingkan dengan tahun 2020 yang sebesar 19,23%. Bahkan, rasio tahun 2021 menjadi yang terbesar, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Kualitas diperbaiki

Ekonom Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sependapat bahwa, kondisi fiskal 2021 masih rentan terutama akibat perlambatan pemulihan ekonomi. Di satu sisi, lambatnya pemulihan ekonomi akan berdampak terhadap rendahnya rasio penerimaan pajak.

Di sisi lain, belanja pemerintah masih menjadi andalan untuk stimulus ekonomi, sehingga kebutuhan belanja negara membesar. Alhasil defisit anggaran pun bakal melebar.

Selain itu utang yang diterbitkan tahun 2020 dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi berimplikasi terhadap cicilan dan bunga yang ditanggung pada tahun 2021. “Ini menyebabkan porsi beban bunga semakin tinggi,” kata Bhima, Senin (11/1).

Menurut Bhima, pemerintah harus terus melakukan optimalisasi penerimaan negara baik memanfaatkan pertukaran informasi perpajakan antar negara, mengenakan pajak digital, hingga perluasan barang kena cukai. “Pemerintah pun juga harus berhati-hati dalam merencanakan pembiayaan dan kualitas belanja juga perlu diperbaiki,” kata dia.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat kenaikan beban utang pemerintah merupakan hal wajar di tengah pemulihan ekonomi. Yang terpenting bagi David, tambahan utang ke depan harus lebih rendah daripada tambahan pendapatan. “Jadi harapannya dengan stimulus saat ini, pertambahan pendapatan ke depan lebih tinggi dan sekaligus produk domestik bruto kita bisa lebih baik,” kata David.

Sumber: Harian Kontan, Selasa 12 Jan 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only