Praktik Opsen Pajak Bakal Dijalankan

JAKARTA. Kemandirian fiskal daerah makin kokoh sejalan dengan rencana pemerintah pusat menerapkan opsen pajak sebagai salah satu upaya untuk memperkuat struktur pajak dan retribusi di daerah.

Substansi tersebut masuk ke dalam rancangan UU tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD).

Beleid itu nantinya akan menggantikan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Opsen merupakan pungutan tambahan atas pajak dengan persentase tertentu yang dikenakan kepada wajib pajak dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung.

Biasanya, opsen pajak diterapkan untuk memperkuat kas pemerintah daerah. Akan tetapi, praktik ini masih belum berlaku di Indonesia.

UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) juga belum mengatur tentang opsen pajak. Dalam UU PDRD, jenis pajak yang diatur hanyalah pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok yang semuanya berlaku di tingkat provinsi.

Adapun, jenis pajak yang berlaku di kabupaten/kota adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan.

Selain itu juga pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan RUU HKPD salah satunya bertujuan untuk mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber dana nasional yang efisien melalui penguatan pajak dan retribusi.

“Penguatan pajak daerah dan retribusi daerah [dijalankan] melalui opsen pajak dan pendaerahan PBB atas tanah dan bangunan,” kata Sri Mulyani saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI secara virtual, Selasa (19/1).

Dia menambahkan, RUU ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Adapun, implementasi opsen pajak menurut Menkeu bisa meningkatkan kesehatan fiskal anggaran di daerah.

“Jadi daerah juga bisa berperan sehingga peranan dan hasil kebijakan fiskal yang countercyclical makin ampuh dan ekonomi cepat bangkit,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Bisnis, mekanisme praktik opsen perpajakan sempat tertuang di dalam draf rancangan UU tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, yang dibahas oleh pemerintah pada 2018 silam.

Dalam rumusan tersebut, pemerintah provinsi berwenang untuk menerima opsen beberapa jenis perpajakan. Pertama opsen cukai hasil tembakau (CHT), kedua opsen pajak penghasilan (PPh), ketiga opsen pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa penjualan makanan dan/atau minuman, jasa boga, dan jasa perhotelan.

Keempat opsen pajak sumber daya alam tertentu (PSDAT) atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah dan mineral bukan logam dan batuan. Sebaliknya, untuk pemerintah di tingkat kabupaten/kota berwenang menerima opsen PPh dan opsen PKB.

Sayangnya, pembahasan rumusan UU tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah itu dipetieskan. Pemerintah pun kala itu tidak memberikan pernyataan yang jelas perihal dihentikannya pembahasan mengenai aturan tersebut.

Peneliti Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman mengatakan meskipun bukan usulan baru, opsen pajak merupakan langkah agresif pemerintah pusat untuk menjaga kesehatan fiskal pemerintah daerah.

“Opsen ini yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan daerah. Sebab, daerah bisa menarik pajak, dengan persentase tertentu, atas pajak yang selama ini ditarik pusat,” kata dia.

Secara umum, menurutnya RUU HKPD menyederhanakan sejumlah pajak dan retribusi daerah yang berdampak pada simplifi kasi admnistrasi penerimaan daerah.

Langkah ini berpotensi meningkatkan pendapatan daerah. “Simplifikasi ini juga bisa menciptakan efisiensi, menghemat biaya dan meningkatkan tax compliance ,” ujarnya.

KOMITMEN

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya menurut Arman adalah komitmen dari pemerintah pusat untuk melakukan simplifi kasi pajak sehingga tidak menghambat implementasi di lapangan.

Sebab, simplifikasi pajak dan retribusi daerah dalam RUU ini, hanya bersifat administratif karena substansi yang diatur dalam tiap jenis pajak tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan UU No. 28/2009 tentang PDRD.

Faktanya, persoalan utama yang dihadapi oleh wajib pajak adalah subsansi seperti ketentuan tarif hingga kejelasan subyek dan obyek pajak.

Sementara itu, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPPOD pada 2018 silam, pengabungan secara administratif juga tidak serta-merta mendorong peningkatan pendapatan daerah.

Pendapatan daerah bisa ditingkatkan jika basis pajak diperluas dan pengaturan pajak yang lebih tegas. Selain itu, RUU ini juga belum menyentuh masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah, terutama terkait dengan administrasi perpajakan, khususnya yang terkait dengan sistem pemungutan dan kesiapan infrastruktur serta sumber daya manusia (SDM).

“Harapan kami, proses pembahasan RUU ini perlu melibatkan stakeholders di daerah, baik pemda maupun masyarakat terutama para pelaku usaha di daerah,” harapnya.

Secara garis besar, ruang lingkup dari RUU HKPD adalah menghubungkan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan memberikan sumber penerimaan daerah, pengelolaan transfer ke daerah, serta pemberian kewenangan belanja dan pembiayaan daerah.

Regulasi ini juga diklaim bisa mengintegrasikan pengelolaan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di antaranya melalui pengendalian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) berupa pengendalian defisit dan pembiayaan APBD, serta pengendalian dalam keadaan darurat.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia, Rabu 20 Jan 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only