Jakarta. Pandemi Covid-19 telah mengharuskan pemerintah untuk memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara maksimal 3%.
Kebijakan tersebut diambil lantaran kondisi penerimaan negara, terutama yang bersumber dari pajak tergerus karena situasi perekonomian yang lesu karena pandemi Covid-19.
Sementara di satu sisi, belanja pemerintah terus membengkak untuk memberikan bantuan dalam rangka penanganan kesehatan dan ekonomi. Situasi ini, perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah.
Pada tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung meneken Undang-Undang (UU) 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1/2020.
Melalui payung hukum tersebut, pemerintah mematok defisit APBN 2020 sebesar Rp 6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kemudian pada tahun ini, defisit ditargetkan 5,7% dari PDB, dan pada 2023 diharapkan bisa kembali ke 3% dari PDB.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengakui, bukan perkara mudah bagi pemerintah untuk menurunkan defisit kembali ke angka 3% dari PDB.
“Kita sudah dikunci sampai 2023, defisit sudah harus kembali maksimal 3%. Untuk menurunkan, terus terang berat sekali,” kata Suharso dalam acara 11th Kompas 100 CEO Forum yang digelar secara virtual, Kamis (21/1/2021).
Suharso mengatakan, saat penerimaan turun, maka secara otomatis defisit anggaran merangkak naik. Untuk mengembalikan defisit, mau tidak mau penerimaan khususnya penerimaan pajak perlu ditingkatkan.
“Kalau mau turunkan ini, tax harus naik, kontribusi pasti sangat besar. Itu jawaban sederhana,” katanya.
Sumber: cnbcindonesia.com, Kamis 21 Jan 2021
Leave a Reply