Kendati ekonomi biaya tinggi, dunia usaha antusias meminta akses vaksin mandiri ke pemerintah. Mungkinkah akses diberikan?
Sepucuk surat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mendarat di meja kerja Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, belum lama ini. Lewat surat itu Gapmmi menyampaikan keinginan agar pemerintah bersedia memberikan izin vaksinasi mandiri bagi pekerja swasta.
“Jika vaksinasi ini bisa cepa dilakukan bagi karyawan, pekerja, maupun kalangan dunia usaha, harapannya akan mempercepat pemulihan ekonomi juga,” kata Ketua Umum Gapmmi, Adhi S. Lukman.
Surat itu dilayangkan tak lama setelah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga mengusulkan program vaksinasi Covid-19 secara mandiri bagi pihak swasta. “Surat yang kami layangkan untuk memperkuat usulan Kadin,” cetus Adhi.
Tampaknya Gapmmi sangat serius dengan usulannya itu. Sebelum berkirim surat ke pemerintah, asosiasi ini sudah mendata perusahaan anggotanya yang mau ikut program vaksinasi mandiri tersebut. Hasilnya, banyak anggota Gapmmi yang antusias dan ingin diikut sertakan dalam program vaksinasi mandiri.
Menurut Adhi, mereka rela merogoh anggaran sendiri. Yang terpenting, kesehatan pekerjanya bisa terjamin, sehingga berdampak positif terhadap kelangsungan poduksi.
Diakui Adhi, program vaksinasi mandiri ini memang membutuhkan biaya tidak sedikit. Mengacu keterangan Dirut PT Bio Farma Honesti Basyir, harga vaksin Sinovac (China), satu dari 6 vaksin Covid-19 yang digunakan untuk proses vaksinasi di Indonesia, sekitar Rp 200.000 per dosis.
Sementara harga vaksin lainnya juga tidak murah. Sebut saja vaksin mRNA-1273 buatan Moderna (Amerika) sekitar US$ 37 atau Rp 523.000 per dosis, vaksin BNT162b2 buatan Pfizer dan BionTech (Amerika dan Jerman) US$ 20 atau Rp 282.000 per dosis, dan vaksin ChAdOx1 nCoV-2019 buatan Universitas Oxford dan AstraZeneca (Inggris dan Swedia) sekitar US$ 4 atau Rp 56.000 per dosis.
Terakhir adalah vaksin Novavax produksi Novavax Inc (Amerika) yang dihargai US$ 16 atau Rp 225.000 per dosis. Itulah beberapa daftar vaksin yang telah mendapat rekomendasi WHO dan sudah dipesan pemerintah.
Biaya besar
Namun, hingga saat ini baru vaksin Sinovac yang sudah tersedia di Indonesia. Sinovac mengirim 3 juta dosis vaksin jadi pada awal dan akhir Desember 2020. Kemudian, bahan baku setara 15 juta dosis vaksin juga sudah dikirim Sinovac untuk dipoduksi oleh PT Bio Farma. Adapun target pengadaan vaksin Sinovac ini nantinya mencapai 125,5 juta dosis.
Bila mengacu harga vaksin Sinovac, menurut Adhi, maka biaya bua pengadaan vaksin mandiri di Industri F&B bisa mencapai Rp 6 triliun. Dengan asumsi, jumlah pekerja di industri mamin ini kini sebanyak 4 juta orang. “Itu data yang terdaftar di Badan Pusat Statistik (BPS),” ujarnya.
Vaksinasi tersebut bukan saja untuk pekerja, tapi juga berikut keluarganya. Bila tiap pekerja memiliki 4 anggota keluarga, maka biaya buat pengadaan vaksin lebih dari Rp 3 triliun jika mengacu harga vaksin Sinovac. “Itu baru biaya untuk sekali vaksin. Jadi total dua kali vaksin bisa Rp 6 triliun,” jelasnya.
Lantaran biayanya cukup mahal, tidak semua perusahaan mamin memiliki anggaran untuk vaksinasi mandiri. Perusahaan skala menengah yang kinerjanya terdampak pandemi jelas tak sanggup ikut program tersebut. “Pada akhirnya mereka nanti akan ikut program vaksinasi gratis yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.
Kendati ekonomi biaya tinggi mengadang, toh, kalangan pebisnis tekstil juga siap menjalankan program vaksinasi mandiri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengklaim, cukup banyak perusahaan tekstil skala besar yang berminat melakukan vaksinasi mandiri.
Saat ini, mereka tengah menunggu keputusan pemerintah soal boleh atau tidaknya melakukan vaksinasi mandiri. Berdasarkan data API, terdapat sekitar 2 juta karyawan yang sekarang bekerja di industri ini.
Tentu tidak semuanya bisa ikut program vaksinasi mandiri. Bagi perusahaan skala menengah yang tidak sanggup mengeluarkan anggaran buat program vaksin mandiri, akan menunggu program vaksin gratis dari pemerintah. Katakanlah, separuh saja dari jumlah karyawan tersebut ikut program vaksin mandiri, biaya yang dibutuhkan tetap tidak sedikit.
Seperti halnya di industri mamin, “Kami juga menyertakan keluarga karyawan dalam pemberian vaksin ini,” ujar Rizal.
Usulan vaksinasi mandiri juga disambut sumringah oleh industri perhotelan. Mereka siap merogoh biaya buat memvaksin karyawan agar sektor ini bisa cepat pulih. Asal tahu, perhotelan termasuk sektor yang paling terdampak Covid-19. Dengan dimulainya program pemberian vaksin Covid-19, tentu menjadi angin segar bagi perhotelan.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengaku, jaringan hotel besar sangat siap menjalankan program vaksin mandiri terhadap para karyawannya. Tak terkecuali jaringan Hotel Said yang ia kelola. “Karyawan kami saja lebih 1.000 orang sudah termasuk lini restoran,” ujarnya.
Dengan merujuk harga vaksin Sinovac, misalnya, anggaran yang dibutuhkan bisa mencapai belasan miliar rupiah. Anggaran tersebut sudah memperhitungkan vaksin bagi keluarga karyawan. Sebenarnya, anggaran sebesar itu cukup memberatkan bagi industri perhotelan yang bisnisnya sangat terpuruk sepanjang pandemi berlangsung.
Namun, demi aktivitas bisnis dan ekonomi bisa pulih cepat, pengusaha perhotelan tetap akan mengalokasikan anggaran buat vaksin tersebut. “Walaupun sebenarnya kondisi kami berdarah-darah,” cetusnya.
Minta kompensasi
Nah, sebagai kompensasi, kalangan pengusaha akan meminta pemerintah memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang ikut program vaksinasi mandiri. Insentif yang diminta bisa berupa pemotongan pajak penghasilan (PPh) badan atau lainnya. “Karena kan program vaksin ini tanggungjawab negara,” cetus Haryadi.
Sementara, ketiganya sepakat tidak akan membenahi karyawan dalam penyuntikan vaksin. Yang jelas, bila izin pemerintah turun, pengusaha akan langsung bergerak dengan menunjuk perusahaan importir yang akan mendatangkan vaksin langsung dari produsen dan mendistribusikan ke perusahaan pengguna di Indonesia. “Jadi kami hanya pengguna,” ujar Hariyadi.
Untuk kepastian pasokan vaksinnya sendiri memang belum bisa dipastikan ada atau tidaknya, mengingat saat ini banyak negara melakukan perburuan vaksin. Namun, mereka siap melakukan perburuan vaksin. Namun mereka siap melakukan penjajakan langsung ke produsen vaksin di luar negeri. “Soal pasokan dari produsennya itu akan kam upayakan,” timpal Adhi.
Dalam Pengadaan vaksin tersebut, perusahaan kemungkinan tidak bergerak sendiri. “Tapi bisa jadi kolektif di bawah koordinasi Kadin,” ungkapnya.
Asal tahu, keinginan melakukan vaksinasi mandiri ini pertama kali datang dari Kadin yang disampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini. Keinginan itu muncul setelah melihat lamanya waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk melakukan vaksinasi gratis, karena ada sejumlah 70% atau 182 juta penduduk yang harus divaksin.
Karena itu, Kadin mengusulkan akses vaksin secara mandiri. Tujuannya adalah mendorong percepatan vaksinasi nasional, sehingga masyarakat perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan vaksin Covid-19.
“Selain juga bisa membantu meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani.
Program vaksinasi gratis yang disiapkan pemerintah memang menelan anggaran sangat besar. Estimasi Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencapai sekitar Rp 73 triliun. Belum lagi pelaksanaannya juga memakan waktu lama.
Berdasarkan skenario yang dibuat pemerintah, program vaksinasi gratis ini terdiri dari dua tahap. Tahap awal dilakukan pada Januari sampai April 2021, dengan perincian penerimaan vaksin petugas kesehatan sebanyak 1,3 juta, petugas publik 17,4 juta, dan lansia sebanyak 21,5 juta.
Sementara tahap kedua berlangsung pada periode April 2021-Maret 2022. Pada tahap ini vaksinasi ditujukan kepada 63,9 juta masyarakat rentan atau masyarakat di daerah dengan risiko penularan tinggi, dan 77,4 juta masyarakat dengan pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.
“Tahapan vaksinasi itu dengan mempertimbangkan ketersediaan dan waktu kedatangan vaksin,” ujar juru bicara pemerintah untuk vaksinasi, Wiku Adisasmito.
Menurutnya, Pemerintah saat ini masih fokus memberikan vaksin secara gratis sesuai tahapan yan telah dibuat. Namun demikian, usulan swasta agar pemerintah membuka akses vaksin Covid-19 secara mandiri tetap dipertimbangkan oleh pemerintah. “Usulan itu dalam proses pembahasan,” ujarnya.
Respons pemerintah
Lalu, seberapa besar peluang usulan vaksinasi mandiri tersebut diterima pemerintah?
Dilihat dari respons pemerintah sejauh ini, nampaknya peluang diterimanya usulan pengusaha tersebut cukup besar. Bahkan, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk merumuskan kebijakan yang tepat atas usulan tersebut.
Syarat pengadaan vaksin oleh swasta harus yang sudah diizinkan oleh WHO dan BPOM.
Menkes Budi sediri tidak mempersoalkan rencana pengusaha melakukan vaksinasi mandiri untuk pegawainya. “Selama program vaksinasi bisa dilakukan secepat-cepatnya, seluas-luasnya, dan semurah-murahnya, prinsipnya saya oke,” kata Budi.
Namun, tidak asal menerbitkan izin. Ia ingin, program vaksinasi mandiri ini benar-benar tepat sasaran di lapangan, sehingga tidak memunculkan anggapan di masyarakat bahwa vaksin hanya diutamakan bagi orang kaya.
Apalagi, atas dasar kekhawatiran itu pula masyarakat pernah menentang program vaksinasi mandiri yang sebelumnya pernah dirancang pemerintah. Asal tahu, sebelum memutuskan vaksin gratis, pemerintah sempat membuat program vaksinasi mandiri untuk vaksin Covid-19. Namun, banyak masyarakat kala itu menentang, sehingga Presiden Jokowi mendorong program vaksinasi dilakukan secara gratis dengan target 182 juta orang.
Lantaran pernah ditentang sebelumnya, banyak hal yang perlu dikaji menyusul didengungkannya kembali opsi vaksinasi mandiri Covid-19. “Yang pasti, jangan sampai vaksin ini dimafiabencanakan, itu kita hati-hati dan lagi pikirkan caranya,” kata Budi.
Dalam kajian pemerintah sementara ini, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi swasta bila ingin ikut program vaksin gratis. Antara lain vaksin harus sesuai dnegan yang diizinkan WHO. Selain itu juga harus mengantongi izin penggunaan darurat dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Itu syarat utama yang harus dipenuhi,” ujar Wiku.
Selanjunya, data peneriman vaksin juga harus dilaporkan kepada pemerintah, sehingga tidak ada tumpang tindih dengan data vaksinasi gratis yang dilakukan pemerintah. Ketentuan lainnya, vaksin harus diberikan kepada seluruh karyawan, dalam arti tidak membeda-bedakan jenjang jabatan.
Jika vaksinasi mandiri kelak diizinkan, pengadaannya akan diserahkan kepada swasta. “Pengadaannya bisa dilakukan oleh swasta, dan mereka bisa pengadaan sendiri. Yang penting vaksinnya harus ada di WHO, harus di approve BPOM dan datanya harus satu dengan pemerintah,” beber Wiku.
Sementara Menteri BUMN menekankan, merek vaksin mandiri yang diadakan oleh swasta harus berbeda dengan merek vaksin yang diberikan secara gratis. Tujuannya supaya yang gratis dan mandiri tidak tercampur. “Mereknya, ya, bukan kualitas atau proses vaksinasi,” ujar Erick.
Selain itu, tempat penyuntikan vaksin gratis dan mandiri juga harus berbeda. Tak kalah pentingnya, harga vaksin mandiri nantinya harus dibuka secara transparan.
Namun, kapan swasta bisa mengakses vaksin mandiri ?
Eric belum dapat memastikan kapan waktunya. Sebab, pemerintah baru saja menjalankan program vaksin gratis yang merupakan prioritas utama pemerintah saat ini.
Tapi kalaupun nanti akses swasta dibuka, kemungkinan baru dibolehkan setelah program vaksin gratis berjalan minimal 1 bulan-2 bulan. “Baru nanti kalau ada untuk mandiri setelahnya,” jelas Erick.
Bila benar nanti dibolehkan, swasta juga dipersilahkan menyampaikan permohonan resmi ke pemerintah terkait permintaan insentif fiskal bagi perusahaan yang ikut vaksin mandiri. “Apakah ada ruang untuk skema yang diusulkan, nanti kami kaji,” ujar Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menkeu.
Sumber: Tabloid Kontan Tgl 25-31 Jan 2021 hal 20-21
Leave a Reply