Tuan Insentif Diliputi Keraguan

JAKARTA — Perpanjangan insentif perpajakan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9 Tahun 2021 sedikit menjadi angin segar bagi pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19. Namun, efektivitasnya masih diragukan.

Sejumlah insentif yang diberikan kepada dunia usaha mencakup pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final tarif 0,5% untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) DTP, dan PPh final jasa konstruksi DTP atas Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI).

Selain itu, pemerintah juga kembali membebaskan PPh Pasal 22 impor, pengurangan 50% angsuran PPh Pasal 25, dan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menyambut positif berlanjutnya insentif bagi UMKM. Namun, dia menyayangkan masa pemberian insentif yang terbatas untuk masa pajak Januari sampai dengan Juni 2021.

“Meski vaksinasi sudah dimulai, tetapi perekonomian masih penuh ketidakpastian. Dalam hal ini usaha mikro dan kecil di berbagai jenis usaha masih menghadapi risiko yang besar.

Restrukturisasi kredit saja bisa berlanjut sampai tahun depan,” kata Ikhsan saat dihubungi, Rabu (3/2). Ikhsan menilai insentif bagi usaha mikro dan kecil idealnya diperpanjang selama setahun dan mencakup semua jenis usaha selama berskala UMKM.

Meski pemerintah menaruh target positif pada perekonomian untuk tahun ini, dia menyebutkan konsumsi yang mendorong aktivitas bisnis belum memberi sinyal pemulihan.

“Kami belum tahu kapan kasus akan turun, selama itu pula bisnis menghadapi ketidakpastian. Karena itu, insentif setidaknya setahun,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta berpendapat bahwa insentif yang diberikan cukup mengakomodasi kebutuhan pelaku industri, terutama pada percepatan restitusi PPN yang dia sebut bisa memberi ruang bagi arus kas perusahaan.

“Percepatan restitusi PPN bisa memberi ruang cash flow, sehingga perusahaan bisa investasi. Selain itu, di tekstil bisa mendorong integrasi hulu ke hilir, misal dari serat ke industri kain,” katanya.

Meski demikian, Redma juga memberi catatan tersendiri untuk pembebasan PPh Pasal 22 impor yang menyasar 730 klasifikasi lapangan usaha (KLU), termasuk di industri tekstil.

Sebagai salah satu sektor yang kerap dirundung masalah banjir impor, Redma mengatakan kemudahan impor justru bisa menghambat investasi karena saat ini tidak ada insentif khusus untuk penyerapan bahan baku yang diproduksi di dalam negeri.

Adapun, insentif pajak sejak awal akan ditinjau secara berkala oleh pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan anggaran untuk insentif dunia usaha kali ini mencapai Rp42 triliun, bahkan bisa menyentuh Rp62 triliun jika sektor kesehatan turut dihitung.

MASIH RAGU

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyatakan sangsi realisasi insentif pajak dunia usaha yang kembali dikucurkan pemerintah bisa lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu.

Dia memperkirakan pelaku usaha yang memanfaatkan insentif pajak tetap akan terbatas. “Kalau melihat anggaran tahun lalu, hanya sebagian usaha yang untung saja yang mengajukan.

Kebanyakan dengan keuangan negatif otomatis tidak mengajukan keringanan,” katanya. Dia pun menilai pembebasan PPh 21 tidak terlalu efektif karena banyak usaha yang memang mengurangi gaji pekerja.

Sementara untuk diskon PPh Pasal 25, tidak dirasakan karena banyak perusahaan yang justru merugi. “Saya rasa jadi fokus adalah bagaimana penanganan pandemi.

Bagi kami selama pandemi pilihan hanya dua, lanjut beroperasi dengan keuangan yang ketat atau berhenti sementara,” lanjutnya. Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat daya dorong stimulus dalam bentuk fiskal bagi dunia usaha relatif kecil jika dibandingkan dengan tekanan yang dirasakan.

Selain menghadapi konsumsi yang lemah, dunia usaha juga harus berkutat dengan upaya efisiensi produksi demi menjaga kesehatan arus kas. Karena itu, stimulus yang bisa memperkecil biaya komponen produksi disebutnya bisa memberi ruang bagi dunia usaha untuk pulih.

“Stimulus sebenarnya bukan hanya potongan pajak karena pelaku usaha itu tekanan banyak. Dari sisi penjualan, mereka harus menekan biaya produksi. Dukungan ini yang diperlukan,” katanya.

Sejumlah komponen yang berkontribusi besar dalam operasional mencakup biaya listrik dan upah tenaga kerja. Selain menjamin keringanan pajak, Faisal menilai subsidi listrik dan upah tenaga kerja perlu dipastikan keberlanjutannya.

“Namun untuk subsidi memang harus targeted. Tidak bisa dipukul rata untuk semua sektor dengan upah di bawah Rp5 juta seperti sebelumnya. Perlu dipilih sektor yang memang mengalami tekanan,” lanjutnya. Dia pun menyebutkan tidak semua sektor layak mendapatkan stimulus pada masa pemulihan.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia
Tgl : 4/2/2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only