JAKARTA. Pemerintah memberikan relaksasi sanksi administrasi bagi wajib pajak (WP). Tujuannya, untuk mendorong WP segera melunasi kewajiban perpajakannya.
Kebijakan itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. Beleid ini merupakan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketentuan relaksasi sanksi administrasi WP dalam UU Cipta Kerja terdapat dalam Bab V Penyesuaian Pengaturan di Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha. Ada tiga keringanan yang pemerintah berikan.
Pertama, perubahan sanksi administrasi dalam pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak saat pemeriksaan, dari 50% menjadi tarif bunga berdasarkan suku bunga acuan dengan jangka waktu maksimal 24 bulan.
Kedua, perubahan sanksi administrasi dalam pengungkapan ketidakbenaran setelah pemeriksaan bukti permulaan, dari 150% jadi 100%.
Ketiga, permintaan penghentian tindak pidana di bidang perpajakan, dari denda sebesar empat kali jumlah pajak menjadi tiga kali.
“Pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebagaimana pada ayat (2) huruf b dan pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara,” bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf a Bab V PP Nomor 9 Tahun 2021.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo sebelumnya mengatakan, latar belakang pemerintah memberikan relaksasi sanksi administrasi adalah memacu WP membetulkan kesalahannya secara mandiri. Hal ini sejalan dengan sistem self assessment yang pemerintah gunakan dalam administrasi perpajakan.
“Terlambat kena sanksi, yang kena sanksi tapi tidak sebesar seperti sekarang. Tingkat kesalahan yang mereka betulkan sendiri sanksinya lebih murah, karena kita menjunjung sistem pajak self assessment,” kata Suryo beberapa waktu lalu.
Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, kebijakan perubahan sanksi dalam PP Nomor 9 Tahun 2021 sudah tepat. Sebab, arah kebijakan pemerintah dalam UU Cipta Kerja memang ditujukan untuk memberikan kemudahan dan kepastian berusaha.
Menurutnya, perubahan sanksi administrasi pajak menjadi lebih proporsional dan tidak berlebihan. Apalagi, mekanisme pengungkapan merupakan bentuk keinginan sendiri dari WP untuk memperbaiki laporan pajak yang sudah dilakukan.
“Artinya, adanya itikad baik dari wajib pajak untuk mengungkapkan ketidakbenaran, perlu dibedakan dan diberi penghargaan dengan sanksi yang lebih ringan. Dengan demikian, akan timbul kepercayaan sehingga kesadaran wajib pajak diharapkan tumbuh,” ujar Bawono kepada KONTAN, Jumat (26/2).
Lebih efektif
Sejalan, pengamat pajak dari Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyatakan, relaksasi sanksi akan efektif mendorong kepatuhan secara sukarela. Konsep lama yang menyebutkan bahwa kepatuhan akan meningkat jika sanksinya besar, telah usang.
Di banyak negara, teori tersebut terbukti gagal dan ditinggalkan. Sebab, kini memasuki era kepatuhan sukarela. “Penurunan sanksi ini dapat menjadi insentif bagi wajib pajak untuk patuh secara sukarela,” sebut Fajry kepada KONTAN kemarin
Dalam aturan saat ini, sebetulnya, jika WP kurang bayar atau tidak melunasi, maka terdapat mekanisme serangkaian penagihan pajak.
Selain itu, terdapat pula mekanisme untuk mengajukan pengurangan sanksi perpajakan. Bila masih tidak puas dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang kantor pajak terbitkan, WP juga bisa mengajukan keberatan sesuai dengan kasus yang mereka hadapi dan tentu jika memenuhi ketentuan yang berlaku.
Sumber: Harian Kontan, Sabtu 27 Feb 2021 hal 2
Leave a Reply