Pemerintah Melonggarkan Pungutan Pajak Ekspatriat

WNA punya opsi membayar pajak penghasilan yang diperoleh di Indonesia.

JAKARTA. Pemerintah memberikan kemudahan dalam pemungutan dan pembayaran pajak penghasilan (PPh) bagi warga negara asing (WNA) di Indonesia. Aturan ini berlaku bagi ekspatriat terutama yang memiliki keahlian tertentu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatur hal ini di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/ 2021, yang berlaku sejak 17 Februari 2021. Pasal 7 beleid ini mengatur penghasilan yang diperoleh WNA yang dikenai PPh, hanya berlaku atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia. WNA tersebut memiliki keahlian tertentu. Selain itu, pengenaan PPh baru diberlakukan setelah empat tahun pajak, atau sejak WNA tersebut jadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).

Penghasilan ini meliputi penghasilan WNA dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan di luar negeri. Sementara, WNA dengan keahlian tertentu meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing. Keahlian tertentu yang diatur, terdiri dari keahlian di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau matematika.

Namun, WNA yang bisa menikmati fasilitas pajak ini harus membuktikannya dengan dengan sertifikat keahlian yang diterbitkan lembaga yang ditunjuk pemerintah Indonesia atau pemerintah negara asal WNA. Selain itu melampirkan ijazah pendidikan dan pengalaman kerja minimal lima tahun di bidangnya.

Selain itu pemerintah memberikan pilihan: WNA untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia atau memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) alias tax treaty antara pemerintah Indonesia dengan yurisdiksi asal WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia. Jika memanfaatkan P3B, insentif ini tidak berlaku.

Kepastian hukum

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji memberikan tiga catatan atas beleid ini.

Pertama, beleid ini memberikan kepastian hukum mengenai praktik di lapangan bagi wajib pajak orang pribadi. Kedua, salah satu aspek yang menjadi pembeda dengan rezim pajak sebelumnya ialah penggunaan terminologi warga negara Indonesia (WNI) dan WNA dalam aspek penentuan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) atau subjek pajak luar negeri (SPLN).

“Namun, pengaturan ini tidak perlu diartikan bahwa Indonesia menganut asas kewarganegaraan (citizenship) di pengaturan status SPDN dan SPLN. Indonesia masih tetap menganut asas domisili yang tercermin dari kriteria tempat tinggal, time-test, dan sebagainya,” kata Bawono.

Ketiga, beleid ini selaras dengan prinsip penentuan status residen di pajak internasional, khususnya tie breaker rule dalam hal terjadinya kasus dual residence. “Kriteria tempat tinggal, pusat kegiatan utama, tempat menjalankan kebiasaan, dan seterusnya,” terang Bawono.

Sementara Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai beleid menguntungkan banyak pihak. Dampak positif bagi warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yakni bisa menghentikan ketidakpastian hukum atas perlakuan perpajakan lintas yurisdiksi yang selama ini dianggap memberatkan bagi ekspatriat.

Menurut Fajry, jika peraturan perpajakan di Indonesia kurang bersahabat, akan menyebabkan perusahaan memindahkan tenaga kerja asing yang punya keahlian yang saat ini ada di Indonesia, ke negara lain seperti Singapura.

Beleid ini bermanfaat bagi WNI yang berkerja di luar negeri. Sehingga mengindari dari pajak berganda.

Tapi Fajry menilai beleid ini akan menyebabkan penerimaan pajak turun. “Makanya perlu dibatasi jenis pekerjaan apa saja yang berhak untuk mendapatkan fasilitas ini,” ujar Fajry.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 04 Feb 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only