Memburu Pajak Kreator Konten

Amerika Serikat segera memungut pajak dari para kreator konten. Bagaimana dengan rencana serupa di Indonesia?

Para kreator konten di dunia maya sebaiknya bersiap. Pekan lalu, YouTube mengumumkan rencana pemungutan pajak pada para konten kreator di luar Amerika Serikat (AS). Sementara dari dalam negeri, pemerintah berencana lebih getol memungut pajak digital baik dari youtuber, tiktoker, selebgram dan lainnya.

Dalam pengumuman secara tertulis, YouTube menyebutkan penghasilan para konten kreator di luar AS yang termasuk dalam YouTube Partner Programme akan dipotong pajak mulai awal Juni 2021.

YouTube meminta kepada seluruh kreator atau youtuber untuk menuliskan informasi pajak yang relevan di Google AdSense sebelum 31 Mei 2021. Tujuannya agar Google dapat menentukan jumlah potongan pajak yang sesuai.

YouTube mencontohkan, konten kreator dengan penghasilan US$ 1.000 dalam satu bulan terakhir. Dari penghasilan ini, sebanyak US$ 100 berasal dari penonton di AS.

Ada tiga skenario pemotongan pajak. Pertama, jika youtuber itu tidak menyampaikan informasi pajak hingga batas waktu yang ditentukan, dia dikenai pajak 24% dari total penghasilan. Jadi US$ 240.

Kedua, jika youtuber menyampaikan informasi pajak sesuai ketentuan dan berada di negara dengan jalinan tax treaty dengan AS, dia bisa mengklaim diskon pajak. Besarannya berbeda setiap negara, tergantung perjanjian.

Ketiga, jika youtuber menyampaikan informasi pajak sesuai ketentuan tapi berada di negara tanpa perjanjian tax treaty dangan AS maka dikenai potongan pajak 30% dari penghasilan penonton di AS. Dia harus membayar US$ 300. Singapura dan Malaysia adalah contoh negara yang tidak punya perjanjian tax treaty dengan AS.

Sejauh ini, Indonesia belum mengatur pajak atas orang pribadi di ranah digital untuk youtuber, tiktoker, selebgram dan lainnya. Mengacu pada perjanjian tax treaty atau penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dengan AS, besaran potongan 10%.

Biarpun YouTube sudah woro-woro, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengaku belum menerima sosialisasi langsung dari Pemerintah AS. Namun, pemerintah meyakini topik tersebut akan di bahas dalam pertemuan Organisation for Economic CO-Operation and Development (OECD). “Untuk kemudian apakah menjadi bagian dari konsensus untuk tax on digital yang langkahnya akan selaras dan sama untuk semua yurisdiksi yang menyetujui,” kata sumber di Kemkenkeu, Senin (15/3).

Wajib Pajak sebagai pembuat konten media daring itu populasinya sangat kecil.

Selain itu, pemerintah sedang menyiapkan langkah administrasi perpajakan yang diperlukan. Hanya, sumber tidak ungkap detailnya.

Bawono Kristiaji, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) menilai pengenaan pajak youtuber menunjukkan upaya penegakan hukum pajak domestik di luar yurisdiksi Pemerintah AS. Langkah ini bukan sesuatu yang baru karena tahun 2010 AS pernah menerbitkan aturan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA).

FATCA mengharuskan lemabaga keuangan dan non keuangan asing tertentu untuk melaporkan aset asing yang dimiliki oleh akun AS kepada U.S. Departement of The Treasury. Tujuannya untuk mencegah penghindaran pajak luar negeri oleh warga negara AS dan pemegang green card.

Pengenaan pajak youtuber Pemerintah AS mengadopsi pendekatan yang berbasis withholding tax dan berbasis bilateral. Pada dasarnya pendekatan itu mirip dengan solusi yang diajukan oleh PBB melalui Model P3B pasal 12B yang baru dirilis tahun lalu. Model tersebut relatif tidak terikat oleh indikator hak pemajakan yang kerap menjadi perdebatan dalam pertemuan OECD.

Sementara secara historis, kebijakan pajak internasional AS umumnya mempengaruhi pembentukan sistem pajak global. Namun, bisa jadi pula langkah tersebut justru berada di luar konsensus sehingga tidak menutup kemungkinan Pemerintah Indonesia juga memajaki konten kreator di luar kepabeanan RI. “Contoh dalam hal kerahasiaan informasi keuangan, AS punya skema FATCA sedangkan global memiliki automatic exchange of information (AEoI),” kata Bawono.

Wajib pajak digital

Terlepas dari rencana Pemerintah AS, Pemerintah Indonesia juga sedang berupaya getol mengutip dari wajib pajak yang memperoleh penghasilan di dunia digital. Rencana itu terbaca dari rumusan dalam laporan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemkeu tahun 2020.

Mengacu pada kondisi masa pandemi Covid-19 yang melahirkan aktivitas-aktivitas ekonomi baru di ranah digital. Oleh karenanya DJP Kemkeu akann meningkatkan pengawasan terhadap empat wajib pajak yang masuk kategori High Wealth Individual (WP HWI).

Untuk menjaring potensi WP HWI yang memperoleh penghasilan lewat aktivitas digital. DJP akan menggunakan data internal dan data pihak ketiga. Makanya DJP berupaya mengumpulkan informasi keuangan digital para WP HWI dari instansi, dan berbagai pihak.

DJP cukup yakin bisa mendeteksi para WP HWI ini. “Kalau berbicara tentang wajib pajak yang berprofesi sebagai pembuat konten media daring seperti youtuber, selebgram dan tiktoker yang tergolong HWI tentu populasinya sangat kecil,” tutur Neilmaldrin Noor, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemkeu.

Setidaknya ada dua kriteria WP HWI. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang memiliki saham perusahan baik pendiri maupun profesional yang melaporkan penghasilan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT) di atas Rp 1 miliar per tahun dan sumber penghasilan di luar gaji alias passive income.

Kedua, WP orang pribadi yang memiliki kekayaan bruto di atas Rp 100 miliar. Mereka memiliki kekayaan lebih dari satu jenis harta serta kekayaan aset finansial dan properti.

Sejauh ini belum ketahuan potensi penerimaan pajak digital dari WP HWI. Namun, melongok catatan Socialblade, 10 konten kreator Indonesia dengan jumlah subscriber di YouTube mencatatkan estimasi penghasilan menggiurkan.

Socialblade menggunakan perkiraan cost per mille (CPM) atau cost per thousand (CPT) US$ 0,25-US$ 4,00. CPM adalah hitungan uang yang dihasilkan dari setiap 1.000 views. CPM adalah salah satu metode saja. Kerjasama periklanandunia internet juga mengenal metode lain seperti cost per click (CPC) atau pay per click (PPC).

YouTuber bisa memperoleh penghasilan dengan mengikuti YouTube Partner Program. Syaratnya antara lain kreator konten punya salura YouTube dengan 4.000 jam tayang dalam setahun dan minimal 1.000 subscriber. Mereka harus terhubung dengan Google Adsense.

Selain itu, banyaknya subscriber juga berpotensi mendatangkan penghasilan lain. Misalkan kerjasama pembuatan konten digital dengan pengiklanan atau peluang jadi endorser.

Banyaknya susbciber juga jadi peluang selebgram di Instagram. Mereka jadi sasaran para pengiklan. Besaran tarif pengiklanan alias endorsement beragam, tergantung pada jumlah follower, engagement rate, like, data-data statistik lain serta layanan yang diberikan.

Perlu diketahui, tak cuma perorangan yang punya subscriber atau follower banyak di platform media sosial. Sejumlah akun yang mewakili badan usaha juga terpantau memiliki banyak subscriber atau follower. Kalau mereka memonetisasi akun, peluang penghasilan juga bisa didapatkan. Berdasarkan jumlah penonton terbanyak di YouTube misalnya, sejumlah stasiun TV yang mendominasi.

Belum optimal

Bawono berpendapat hingga kini kontribusi penerimaan pajak dari WP HWI relatif belum optimal. Padahal pos tersebut strategis terutama dalam mengurangi ketimpangan pembayaran pajak, menambal berbagai stimulus selama pandemi serta mewujudkan solidaritas.

Namun pelaksanaan pengenaan pajak WP HWI secara umum tidak mudah. Kelompok biasanya memiliki akses yang lebih baik terhadap dana, penasihat keuangan hingga politik. Alhasil peluang terjadinya pengaburan beneficial owner atau pihak yang diuntungkan mungkin terjadi.

Selain itu, pemerintah perlu mendefinisikan WP HWI pada nilai indikator tertentu. Misalnya kekayaan atau harta sebagai kekayaan atau harta sebagai kategorisasi agar strategi pengawasan menjadi lebih tepat. “Apakah penghasilan yang dimaksud hanya dari sektor digital misal youtuber atau ada yang lain,” kata Bawono.

Catatan lain yakni jenis penghasilan WP HWI umumnya berbeda dengan wajib pajak objek perorangan (WP OP) pada secara umum. Boleh jadi penghasilan WP HWI lebih banyak berasal dari passive income.

Setali tiga uang Institute for Development on Economics and Finance (Indef) berpendapat pemerintah perlu membuat skema yang jelas mengenai mekanisme pengenaan pajak digital bagi WP HWI. Pasalnya, hingga kini dia belum banyak melihat rumusan kebijakan terkait dengan target pajak tersebut.

Adapun pegenaan pajak kepada youtuber mungkin dilakukan meskipun YouTube sebagai badan usaha sudah membayar pajak. “Pemerintah tetap bisa memungut dua bentuknya salah antara pajak penghasilan (PPh) atau pajak pertambahan nilai (PPN),” tutur Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Indef.

Agar rencana pemungutan pajak bisa berjalan, Indef memberikan tiga masukan. Pertama, memetakan dan mengidentifikasi WP HWI. Untuk memudahkan pemetaan, pemerintah bisa menjalin komunikasi dengan penyedia platform.

Kedua, menghitung besar pungutan pajak. Jangan sampai pula potongan pajak justru melebihi pendapatan.

Ketiga, menjalankan regulasi yang adil untuk semua pelaku. Indef menyarankan agar pemerintah tidak terpatok pada harga mati dalam bentuk persentase pungutan.

Sudah sematang apa persiapan pemerintah ?

Sumber: Tabloid Kontan 22-28 Mar 2021 hal 20, 21

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only