Pajak Kripto Tak Final

Jual beli mata uang digital alias kripto makin digemari investor. Besaran transaksi pada komoditas digital ini berpotensi memberikan penerimaan yang besar untuk negara.

Tengok saja catatan ini: tahun 2020, rata-rata volume transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp 40 triliun per bulan, atau sekitar Rp 480 triliun sepanjang tahun lalu. Nah itulah yang mendorong otoritas fiskal berencana memungut pajak aset kripto dalam waktu dekat ini.

Nantinya, pajak atas transaksi koin kripto langsung dipungut dari investor oleh platform pedagang kripto. Cuma, sejauh ini, pungutan pajak tersebut masih dalam tahap pembahasan. Bisa dalam bentuk pajak penghasilan (PPh) final maupun PPh pada umumnya atas keuntungan orang pribadi.

Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) mengusulkan, paling tidak pajak yang dikenakan pada aset kripto bisa sekitar 0,05%. Jika dibandingkan dengan saham memang jauh lebih rendah. Info saja, pajak atas transaksi saham dikenai tarif 0,1%.

Meskipun belum ada pajak khusus yang dibebankan, keuntungan dari perdagangan kripto tetap harus dilaporkan dalam SPT tahunan dan dikenakan pajak non-final. Ini berbeda dengan reksadana yang memang tidak dikenai pajak lagi ketika pelaporan SPT.

Agus Susanto Lihin, konsultan pajak, menjelaskan, mengenai jenis investasi berupa kripto ini memang belum diatur di Undang-Undang PPh. “Karena belum diatur ini maka atas keuntungan dari penjualan bitcoin ini dikenai pajak Penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh yang bersifat tidak final,” ujar Agus.

Jadi, dalam hal ini, pihak investor secara mandiri, self assessment, tetap wajib melaporkan penghasilan berupa keuntungan dari penjualan bitcoin ataupun kripto lain ke SPT tahunan PPhnya. Dasar hukumnya, Agus bilang, mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yaitu keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.

Agus menambahkan, aset kripto adalah investasi yang merupakan objek pajak, dan hanya investasi di reksadana yang bukan objek pajak. “Tapi itu bukannya tidak kena pajak, karena pihak manajer investasi sebagai pengelola produk reksadana sudah dikenai pajak,” papar Agus.

Untuk reksadana pendapatan tetap, misalnya. Oleh manajer investasi, dan kelolaan reksadananya diinvestasikan ke obligasi, sehingga atas penghasilan bunga dari obligasi inilah dikenai PPh.

Biar gamblang, Agus memberikan contoh, sebut saja Bapak Andi, seorang karyawan berstatus kawin dan memiliki tiga anak. Di tahun 2021, ia mendapatkan keuntungan atas penjualan bitcoin yang dimilikinya sejak 3 tahun lalu sebesar Rp 100 juta. Maka, atas keuntungan sebesar Rp 100 juta tersebut wajib dilaporkan di SPT Tahunan PPh tahun 2021.

Selain dari bitcoin, Pak Andi mendapatkan penghasilan neto dari gaji karyawan selama setahun di tahun 2021 sebesar Rp 600 juta. PPh 21 yang dipotong oleh perusahaan sebesar Rp 101,6 juta. Maka, jumlah penghasilan neto adalah Rp 600 juta dari gaji karyawan dan Rp 100 juta dari bitcoin, sehingga totalnya Rp 700 juta.

Dikarenakan Pak Andi sudah menikah dan memiliki tiga anak, maka penghasilan tidak kena pajaknya Rp 72 juta. Sementara sisanya, yakni Rp 628 juta, dikenakan pajak.

Perhitungannya dari Rp 628 juta itu, PPh terutang sebesar Rp 50 juta kena pajak 5% atau sebesar Rp 2,5 juta. Kemudian, sebesar Rp 200 juta kena potongan 15%, yaitu Rp 30 juta.

Selanjutnya, Rp 250 juta kena potongan 25% yaitu Rp 62,5 juta. Dan sisanya, yakni Rp 128 juta, kena potongan pajak 30%, yaitu Rp 38,4 juta.

Maka, jumlah PPh terutang adalah Rp 133,4 juta dikurangi kredit pajak PPh 21 yang dipotong perusahaan sebesar Rp 101,6 juta. Itu artinya, PPh kurang bayar dalam kasus Pak Andi adalah Rp 31,8 juta.

PPh final lebih cocok

Tampaklah, selain pertimbangan tujuan investasi, biaya-biaya dalam investasi juga menjadi pertimbangan investor sebelum memilih instrumen. Salah satunya adalah pajak.

Budi Raharjo, perencana keuangan One Shildt Financial Planner, mengatakan, untuk investasi memang lebih baik dikenakai PPh final. Sehingga, begitu mendapat keuntungan langsung dipotong. Sementara, kalau pajak non-final, pajak yang dikenakan berlapis, bahkan bisa kena hingga 30%. Hal itu tentu bisa menggerus keuntungan.

“Tapi kalau mau investasi kripto menunggu PPh final disahkan kan lama. Padahal momennya lagi bagus sekarang. Mulai saja sekarang,” katanya.

Toh, Budi menegaskan, tidak semua orang perlu disarankan bermain mata uang digital ini. Mengingat volatilitasnya yang tinggi, Budi bilang, cocoknya untuk orang bermental kuat dan pengetahuan tinggi saja. Apalagi bila keuntungan dari investasi kripto ini hanya untuk senang-senang, bukan untuk memenuhi tujuan pokok tertentu, seperti biaya sekolah atau pensiun. “Jangan sampai ketika rugi, hal pokok itu malah terimbas,” pesannya.

Sumber: Tabloid Kontan 03-08 Mei 2021 hal 3

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only