Wacana Tarif PPN Naik Tuai Pro Kontra

JAKARTA. Wacana yang digulirkan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan mengerek tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menurunkan batas pengusaha kena pajak (PKP) mulai menuai pro dan kontra. Di satu sisi, cara ini memang efektif mendongkrak penerimaan negara, tapi dampaknya akan menyulitkan konsumen dan perusahaan skala kecil.

Seperti kita tahu, dua pekan terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Bidan Perekonomian Airlangga Hartarto menggulirkan keinginan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN yang saat ini masih berlaku 10%. Hanya saja, pemerintah belum spesifik menyebut besar kenaikan; apakah mengikuti batasan maksimal 15% atau lebih rendah. Pemerintah juga belum memerinci waktu kenaikan PPN itu, apakah mulai tahun depan atau jangka panjang.

Sementara, wacana penurunan PKP ada di Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Klausul itu masuk dalam Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Pajak atas Barang dan Jasa.

Seperti kita tahu, batasan PKP yang berlaku saat ini adalah apabila omzet setahun mencapai Rp 4,8 miliar. Jika ambang batas atau threshold PKP ini diturunkan, akan lebih banyak pengusaha yang menjadi pembayar pajak.

World Bank, dalam laporannya yang bertajuk Indonesia Economic Prospect,sebelumnya, juga telah menyarankan agar Indonesia menurunkan threshold PKP dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 600 juta. Kebijakan ini bisa meningkatkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25. Kebijakan ini akan membuat banyak UMKM yang semula membayar PPh final dengan tarif 0,5% menjadi memikul tarif PPh Pasal 25 sebesar 22%.

Hanya saja, Plt Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka enggan merespons pertanyaan KONTAN untuk menjelaskan kelanjutan wacana ini.

Pengamat pajak dari Center for Informastion Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, saat ekonomi Indonesia membaik, penurunan ambang batas PKP sangat layak dilakukan.

“PKP bisa diturunkan jadi Rp 2,5 miliar. Jika ingin menurun lebih rendah, misalkan Rp 600 juta, pemerintah dapat menggunakan metode simplified agar tidak membebani WP,” katanya, (9/5).

Namun Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengkritik rencana ini. Pertama, aturan itu memberatkan pengusaha dan konsumen karena tarif PPN naik membuat harga barang dan jasa ikut naik.Kedua, UMKM sulit bersaing kalau harus membayar pajak setara korporasi. Ia malah menyarankan PKP dinaikkan menjadi Rp 10 miliar.

Sumber: Harian Kontan, Senin 10 Mei 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only