Mengejar Persembunyian Aset di Luar Negeri

Usulan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sudah bergulir. Ada pro kontra di sana, termasuk dalam hal bagaimana informasi ini bisa tersebar luas di masyarakat.

Kenyataannya, polemik yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat perlu mendapatkan perhatian. Banyak perdebatan yang menuju pada wacana perluasan pengenaan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PPN atas sembilan bahan pokok (sembako) atau bahan pangan dan PPN Jasa Pendidikan menjadi topik yang hangat diperbincangkan di berbagai media cetak dan elektronik, termasuk di media sosial. Tidak mengherankan jika wacana ini menjadi polemik karena topik tersebut berkaitan erat dengan apa yang selama ini menjadi konsumsi utama masyarakat umum.

Bantuan penagihan

Satu hal yang masih terkait pula dengan usulan revisi UU KUP dan cukup penting untuk dibahas adalah terkait dengan bantuan penagihan pajak. Poin usulan revisi yang sebelumnya belum diatur UU KUP ini cukup krusial bagi otoritas perpajakan dalam menjalankan penagihan aktif sebagai bagian dari penegakan hukum.

Berdasarkan usulan revisi UU KUP, bantuan penagihan meliputi bantuan serta dukungan pelaksanaan tindakan penagihan pajak yang diberikan negara mitra. Lingkup bantuan juga berkaitan dengan permintaan bantuan penagihan aktif kepada negara mitra yang berlaku secara resiprokal.

Berbicara mengenai bantuan penagihan yang melibatkan negara lain, saat ini Indonesia sudah memiliki sebanyak 13 kerjasama dengan negara mitra berupa 13 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang memuat pasal bantuan penagihan. P3B tersebut adalah perjanjian kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara mitra, yaitu: Aljazair, Amerika Serikat, Armenia, Belanda, Belgia , Filipina, India, Laos, Mesir, Suriname, Yordania, Venezuela, dan Vietnam.

Adapun kondisi kerja sama yang berlaku saat ini adalah bahwa Indonesia telah menyepakati posisi reservasi dalam konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan atau Convention on Mutual Adminstrative Assistance in Tax Matters (MAC). Indonesia juga sudah menerima permintaan bantuan dari beberapa negara mitra.

Namun, sampai saat ini bentuk bantuan penagihan pajak berdasarkan P3B yang diberikan oleh negara mitra belum sampai pada tindakan penagihan aktif. Upaya bantuan tersebut masih dalam bentuk sebatas imbauan.

Akibatnya, untuk menagih utang pajak dari aset penanggung pajak yang ada di negara/yurisdiksi mitra atau yang asetnya berada di negara/yurisdiksi mitra, Indonesia tidak dapat meminta bantuan kepada negara / yurisdiksi mitra tersebut. Padahal potensi keberadaan aset warga negara Indonesia di luar negeri cukup besar.

Berdasarkan data dari hasil studi yang dilakukan oleh McKinsey and Company pada Desember 2014, terdapat US$ 250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun aset warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Jumlah aset warga negara Indonesia yang berada di luar negeri tersebut adalah data enam tahun yang lalu. Kondisi tahun ini boleh jadi menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi lagi dari data enam tahun lalu.

Data dari Credit Suisse Global Wealth Report dan Allianz Global Wealth Report bahkan menemukan angka nominal aset yang lebih tinggi lagi, yaitu mencapai sekitar Rp 11.125 triliun. Data tersebut memang masih perlu diteliti dan dianalisis kembali apakah benar dan valid sampai kepada data rincian pemilik asetnya.

Kemudian dari data deklarasi harta saat periode amnesti pajak, harta warga negara Indonesia yang tersimpan di luar negeri adalah mencapai sebesar Rp 1.036,7 triliun. Dengan kata lain, ada selisih sebesar Rp 2.213 triliun jika dibandingkan dengan data yang dirilis oleh McKinsey.

Selanjutnya, dari data Automatic Exchange of Information (AEoI) tahun 2018, aset warga negara Indonesia di luar negeri sebesar Rp 1.300 triliun. Jika data ini disandingkan dengan nilai aset warga Indonesia yang dirilis McKinsey dan data amnesti pajak masih ada selisih sebesar Rp 913 triliun. Jumlah ini perlu ditelusuri lagi untuk memperoleh keyakinan bahwa datanya memang valid.

Bisa dikejar

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa potensi aset wajib pajak yang ada di luar negeri sangat besar. Data-data aset tersebut sudah ada dan dimiliki oleh otoritas perpajakan sebagai hasil koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Jika selama ini otoritas perpajakan masih kesulitan untuk mendeteksi dan melakukan tindakan penagihan aktif untuk penanggung pajak dan/atau aset penanggung pajak yang berada di luar negeri, hal ini karena belum ada ketentuan yang mengatur terkait bantuan penagihan dari negara mitra.

Pertanyaannya, setelah ketentuan bantuan penagihan ini disetujui, masih mungkinkah menyembunyikan aset di luar negeri?

Pengaturan bantuan penagihan pajak ini bisa berdampak positif bagi penegakan hukum pajak. Pertama, otoritas perpajakan memiliki kewenangan untuk melaksanakan bantuan dan meminta bantuan penagihan pajak kepada negara mitra secara resiprokal. Ini berarti penagihan aktif dapat dilakukan walaupun penanggung pajak dan/atau aset penanggung pajak ada di luar negeri.

Kedua, penanggung pajak akan berpikir ulang jika berniat menyembunyikan asetnya di luar negeri karena keberadaannya dapat diketahui dan tetap dapat dilakukan tindakan penagihan pajak atas aset tersebut.

Ketiga, wibawa pemerintah, dalam hal ini otoritas perpajakan menjadi lebih terlihat di mata penanggung pajak. Hal ini dapat bermuara pada tumbuhnya kesadaran dan kepatuhan pajak.

Dengan pemberlakuan bantuan penagihan ini, otoritas perpajakan dapat menunjukkan kinerja yang lebih optimal dalam mengumpulkan penerimaan negara. Dalam prosesnya, pembahasan terkait ini akan dilakukan DPR.

Menarik ditunggu keputusan yang akan dibuat terkait dengan pemberlakuan aturan ini. Seluruh masyarakat berdoa agar keputusan yang diambil akan berdampak positif bagi Tanah Air dan mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara.

Sumber: Harian Kontan Senin 28 Jun 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only