Sengketa Penyerahan Jasa Angkutan Udara Dikecualikan dari PPN

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penyerahan jasa angkutan udara yang dikecualikan dari pajak pertambahan nilai (PPN).

Dalam permohonan PK, wajib pajak menyatakan kegiatan usaha yang dijalankan adalah jasa pengangkutan udara. Dalam usaha bisnisnya, wajib pajak melaksanakan pengangkutan penumpang bersifat borongan dan tidak terjadwal. Terhadap jasa angkutan udara tersebut tidak dikenakan PPN.

Sebaliknya, otoritas pajak menganggap bisnis yang dijalankan wajib pajak ialah persewaan pesawat. Merujuk pada Surat Dirjen Pajak No. S-3480/PJ.531/1997 tertanggal 15 Desember 1997, jasa penyewaan pesawat udara tidak termasuk jasa angkutan udara, tetapi jasa penyewaan barang bergerak.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung ­­­­mengabulkan permohonan dari wajib pajak selaku Pemohon PK.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Sekretariat Pengadilan Pajak.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan tidak terdapat bukti yang meyakinkan untuk mengabulkan permohonan banding wajib pajak.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put, 57103./PP/M.XIV.B/16/2014 tanggal 23 November 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 27 Februari 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi objek PPN dalam negeri yang terutang PPN dengan DPP senilai Rp1.325.721.822 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Termohon PK dan putusan Pengadilan Pajak yang mengenakan PPN terhadap usaha jasa angkutan udara yang dilakukan Pemohon. Pendapat Termohon PK yang menyatakan kegiatan usahanya termasuk jasa persewaan barang bergerak dan bukan merupakan jasa angkutan udara tidak dapat dibenarkan.

Pemohon PK menegaskan bahwa jenis usaha yang digelutinya adalah jasa angkutan udara, bukan perusahaan yang bergerak di bidang penyewaan pesawat. Pemohon PK menjalankan jasa angkutan udaha di luar daerah yang bersifat penerbangan tidak terjadwal atau borongan.

Selain itu, lingkup usaha Pemohon PK juga termasuk penerbangan tidak terjadwal. Waktu pengoperasian pesawat dilakukan sepanjang waktu selama perusahaan masih menjalankan usahanya. Pernyataan tersebut sesuai dengan bukti pendukung yang telah diserahkan dalam persidangan yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor SI.51/AU.003/PHB-86 tanggal 31 Juli 1986.

Sementara itu, jasa persewaan barang bergerak mempunyai jangka waktu tentu yang bersifat harian, mingguan, ataupun bulanan. Nilai penyerahan jasa dihitung berdasarkan pada waktu yang diperjanjikan dan tidak melihat pemakaian barangnya.

Dengan demikian, sudah jelas, kegiatan usaha wajib pajak ialah jasa angkutan udara. Berdasarkan pada Pasal 4A ayat (3) UU 8 Tahun 1983 s.t.d.d. UU 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), jasa angkutan udara dikecualikan dari pengenaan PPN.

Terhadap dalil Pemohon PK tersebut, Termohon PK menegaskan menolak semua pernyataan Pemohon. Termohon PK menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pemohon PK termasuk dalam penyewaan pesawat yang merupakan jasa persewaan barang bergerak.

Merujuk pada Surat Dirjen Pajak No. S-3480/PJ.531/1997 tertanggal 15 Desember 1997, jasa penyewaan pesawat udara tidak termasuk jasa angkutan udara, melainkan jasa penyewaan barang bergerak. Oleh sebab itu, penyediaan layanan ini tetap dikenakan PPN. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Termohon PK menilai koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung menyatakan alasan-alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menolak permohonan banding tidak dapat dipertahankan. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi objek PPN dalam negeri senilai Rp1.325.721.822 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara ini, Majelis Kasasi menilai Pemohon PK dapat membuktikan jasa yang dijalankannya adalah jasa angkutan udara yang tidak terjadwal dan bersifat borongan. Kegiatan usaha Pemohon PK bukan merupakan jasa persewaan pesawat sebagaimana dinyatakan Termohon PK.

Dalil-dalil Pemohon PK tersebut dibuktikan dengan bukti pendukung berupa Keputusan Menteri Perhubungan No. SI.51/AU.003/PHB-8, Air Operator Certificate (AOC) No. AOC/135-038, dan invoice. Oleh karena itu, jasa angkutan udara tersebut dikecualikan dari pemungutan PPN.

Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, Majelis Hakim memutuskan ada cukup bukti untuk mengabulkan seluruh permohonan dari pemohon PK. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara. Putusan PK ini diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 21 Desember 2016.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only