Rencana Pajak Karbon Menuai Penolakan

JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Selasa (24/8).

Komisi XI DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama pelaku usaha, membahas salah satu poin di RUU tersebut, yaitu rencana pajak karbon diatur di Pasal 44G RUU KUP. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasyid menyampaikan 18 asosiasi pengusaha sepakat menolak rencana pajak karbon.

Pertama, penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan dan sistemik terutama bagi kestabilan perekonomian Indonesia, neraca perdagangan, dan pendapatan negara.

Pajak karbon akan membuat penambahan beban biaya bagi perusahaan membuat industri semakin tertekan, memperlemah daya saing industri, dan meningkatkan produk impor ke Indonesia.

“Hal ini tentunya mendorong kenaikan biaya produksi dan distribusi produk, sehingga menekan daya beli masyarakat dan berpotensi menimbulkan inflasi,” kata Arsjad.

Kedua, saat ini ketergantungan proses produksi dan distribusi industri terhadap bahan bakar fosil masih sangat tinggi. Ketiga, di Asia Tenggara baru Singapura yang menerapkan pajak karbon, sejak tahun 2019.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menambahkan, penerapan pajak karbon juga mengancam daya saing industri keramik. Selain itu, akan ada kenaikan biaya produksi yang kemudian membebani pelanggan,

Komisi XI DPR belum bisa memastikan sikap DPR terhadap keluhan pengusaha ini. Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Mukhammad Misbakhun menyebut, penerapan poin-poin di RUU KUP ini akan menyesuaikan kondisi perekonomian Indonesia yang masih dalam pandemi Covid-19.

Karena itu tentu dukungan untuk pemulihan ekonomi pasca krisis akan menjadi pertimbangan dalam menerapkan aturan yang baru.

DPR sendiri rencananya akan membahas RUU KUP ini dengan batasan waktu maksimal hingga tiga masa sidang ke depan.

Hingga kini belum ada kepastian kapan RUU ini akan disahkan dan bisa diterapkan sebagai rezim baru perpajakan di Indonesia.

Sumber: Harian Kontan Rabu 25 Agustus 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only