Dag Dig Dug Menanti Tarif Cukai

Mengukur tebal kepulan laba emiten rokok di tengah rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan simplikasi cukai tahun depan.

JAKARTA. Pemerintah menargetkan bisa membukukan pendapatan cukai Rp 203,92 triliun tahun depan. Angka tersebut naik 11,9% secara year on year (yoy) dari pendapatan cukai di tahun ini sebesar Rp 182,2 triliun.

Untuk itu, pemerintah berencana mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada Oktober. Kenaikan tarif cukai akan mempengaruhi prospek saham emiten rokok ke depan.

Analis BRIDanareksa Sekuritas Natalia Sutanto, dalam risetnya mengatakan, selain tarif cukai, struktur cukai juga akan mempengaruhi prospek emiten rokok ke depan. Sebab saat ini pendapatan perusahaan rokok di kategori tier-1 lebih tertekan akibat kenaikan tarif cukai yang lebih besar.

Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya menilai kenaikan cukai akan memaksa perusahaan rokok menaikkan harga jual eceran (HJE). Ini dilakukan agar margin tidak tertekan parah, tetapi volume penjualan akan turun.

Analis RHB Sekuritas Michael Wilson menilai, besaran kenaikan cukai akan berkisar 10%-12%. Tapi apabila angkanya berada di atas tersebut, maka margin emiten rokok bisa kian tertekan. “Tentunya akan jadi jelek, margin akan turun lagi, seperti di semester I-2021. Sebab harga jual perlu naik 5% untuk balik ke margin yang sama,” jelas dia.

Christine menambahkan, apabila HJE dipaksa naik, tetapi ada simplifikasi tingkatan cukai, efeknya akan positif terhadap emiten rokok seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM). “Pasar sudah tahu mengenai kenaikan cukai dari pemerintah. Sekarang, pasar malah menantikan sentimen yang positif,” ujar Christine.

Pelaku pasar kini menantikan kepastian simplifikasi layer dan efeknya ke HJE. “Pasar lebih menunggu HJE bakal dinaikkan atau tidak, dan layer bakal dipotong atau tidak,” kata Christine.

Michael melihat, jika simplikasi cukai rokok terjadi, maka HMSP dan GGRM akan diuntungkan. Sebab, selisih tarif cukai yang harus dibayar oleh emiten rokok tier 1 seperti HMSP dan GGRM menjadi tidak jauh berbeda dibanding rokok tier di bawahnya. Maklum selama ini kedua emiten tersebut harus membayar cukai paling mahal. HMSP dan GGRM bahkan harus membuat produk baru untuk menarik konsumen.

Michael mengamati, kalau saat ini sudah banyak konsumen yang sudah menurunkan konsumsi rokoknya ke merek yang lebih murah. Dalam hitungannya, di tahun 2019, konsumen rokok non tier-1 berada di angka 20%, dan di tahun 2021 ini sudah meningkat menjadi 30%.

Ke depan, Michael menambahkan, sentimen positif bagi emiten rokok adalah jika daya beli masyarakat kembali pulih. Seiring dengan PPKM yang dilonggarkan dan masyarakat sudah mulai beraktivitas kembali, maka konsumsi rokok pun bisa meningkat. “Orang nongkrong di kafe dan warung banyak yang dibuka, bisa meningkatkan konsumsi rokok,” kata Michael.

Konsumen beralih

Pada kuartal III-2021 pemulihan ekonomi memang sudah mulai berjalan. Tapi karena masih ada pembatasan aktivitas masyarakat di periode tersebut, maka produsen rokok kesulitan menaikkan harga. Sebab kala itu, daya beli masyarakat masih lemah.

Natalia memandang, ketidakmampuan produsen rokok menaikkan harga lebih tinggi dari tarif cukai akan memberikan tekanan pada pendapatan produsen rokok. Menurut dia, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) menjadi emiten rokok non tier-1 yang menarik.

Banyak konsumen yang beralih ke rokok yang harganya lebih murah (downtrading). Produk rokok sigaret kretek mesin (SKM) Wismilak Diplomat Mild yang harganya lebih murah tetapi rasanya mirip rokok tier atas akan jadi salah satu pilihan konsumen.

Melihat sentimen tersebut, Christine memberi rekomendasi netral bagi sektor rokok, sembari menanti perubahan tarif cukai. Bila kenaikan cukai besar, maka efeknya tidak akan terlalu bagus ke sektor ini. Ia menyarankan investor mencermati pengumuman tarif cukai di Oktober.

Christine menilai emiten yang menarik di sektor ini adalah HMSP. Ia memberi rekomendasi trading buy dengan target harga Rp 1.150.

Michael juga merekomendasikan HMSP dengan target harga Rp 1.400 per saham. Ia memprediksi yield dividen 8%. Untuk GGRM, Michael merekomendasikan netral.

Natalia menaksir, meski prospek kurang menarik, valuasi sektor emiten rokok sudah berada di bawah. Karena itu ia mempertahankan rekomendasi netral di sektor ini. Ia merekomendasikan beli HMSP karena portofolio produknya lebih luas, sehingga dapat memenuhi permintaan saat sedang lemah.

Sumber: Harian Kontan Senin 27 September 2021 hal 5

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only