Menakar Kompleksitas Multitarif PPN

Kebijakan multitarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) mencuat  dalam Rancangan Undang – Undang ( RUU ) Harmonisasi Peraturan Perpajakan ( HPP ) Skema multitarif ini akan mengubah skema tarif tunggal PPN yang selama ini dikenakan sebesar 10% RUU ini pun telah disahkan di sidang paripurna DPR

Asas keadilan menjadi pertimbangan utama pemerintah utama pemerintah dalam penerapan kebijakan multitarif PPN. Berdasarkan ketentuan tersebut, barang mewah akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Disisi lain, barang atau jasa tertentu akan dikenakan tarif yang lebih rendah untuk mengurangi regresivitas. Sayangnya beleid multitarif PPN Menimbulkan kontroversi terkait kompleksitas ini mencangkup peningkatan biaya kepatuhan, biaya administrasi dan efisiensi ekonomi. Biaya kepatuhan menjadi isu utama yang diperdebatkan. Ketika PPN Menerapkan tarif yang berbeda – beda , potensi kesalahan implementasi bisa terjadi. Pengusaha harus menyiapkan sistem yang mampu mengakomodasi perbedaan tarif atas barang yang berbeda. Selain itu, frekuensi mis interprestasi peraturan pun semakin meningkat.

Perbedaan penafsiran akan meningkatkan resiko kesalahan tersebut akan berimbas pada peningkatan biaya kepatuhan. Data European Parliamentary Research Service ( 2021 ) menyatakan bahwa biaya kepatuhan di Uni Eropa meningkat hingga dari omzet perusahaan. Sebelumnya, Uni Eropa telah menerapkan kebijakan multitarif sejak tahun 1990. Inggris juga telah menerapkan kebijakan multitarif PPN sejak 1974. Biaya kepatuhan di Inggris pun meningkat 7.6% atas perubahan skema tarif tersebut. Dalam hal ini, perusahaan kecil menanggung proporsi biaya kompleksitas lebih tinggi atas otomasi sistem dan biaya jasa konsultan

Islandia mengalami kesulitan dalam penafsiran ketentuan multitarif pajak pertambahan nilai. Di Islandia, tur dengan kuda termasuk dalam klarifikasi industri transportasi. Oleh karena itu, industri  ini berhak atas insentif tarif pajak lebih rendah sebesar 11%

Jika perusahaan tersebut adalah klub olahraga, maka akan dikenakan tarif 25%. Pertanyaan muncul terkait berapa tarif yang harus dikenakan jika perusahaan tersebut menjalankan dua aktivitas bisnis secara bersamaan.  Mekanisme pengkreditan pajak masukan pun menjadi semakin kompleks karena adanya proposionalitas

Hafsteinsson dan Steinsson ( 2014 ) mengukur kesenjangan kepatuhan ( compliance gap ) akibat penerapan multitarif PPN di Islandia. Dalam studinya, ditemukan bahwa kesenjangan kepatuhan industri restoran mencapai 42%. Kesenjangan ini muncul akibat kerumitan dalam penggolongan tarif pajak atas produk makanan dan minuman dengan karakteristik yang beraneka ragam.

Akibatnya, celah penghindaran pajak pun menjadi semakin lebar. Terlebih pemenuhan kewajiban pajak menganut self-assesment system sehingga wajib pajak lah yang harus menghitung sendiri pajak terutang

Kompleksitas berikutnya adalah terkait biaya administrasi pemerintah khususnya otoritas pajak. Kebijakan multitarif menimbulkan kesulitan dalam pengawasan pajak. Negara yang menerapkan multitarif pajak pertambahan nilai juga membutuhkan lebih banyak petugas pajak untuk memproses restitusi pajak.

Riset Dana Moneter Internasional ( IMF ) pada 1993 menyatakan bahwa perubahan dari satu ke dua jenis tarif akan meningkatkan biaya administrasi hingga lima kali lipat. Dengan perubahan ketiga jenis tarif, biaya administrasi pemerintah mencapai 10 Kali Lipat. Meskipun penerimaan pajak meningkat karena adanya barang yang dikenakan lapisan lebih tinggi, tetap akan tergerus oleh peningkatan biaya administrasi

Potensi lobi dan kecurangan akibat beleid ini bisa semakin intens. Berbagai pihak akan mempengaruhi pembuat kebijakan untuk menempatkan industrinya di lapisan tarif yang lebih rendah.  Asistensi teknis dari IMF kepada Islandia menunjukkan bahwa lobi politik menyebar dengan ekstensif sejak penerapan multitarif pajak pertambahan nilai

Kerugian, Bobot Mati ( dea dweight loss ) menjadi resiko selanjutnya atas penerapan multitarif PPN. Kerugian bobot mati terjadi akibat pengurangan surplus konsumen dan produsen akibat pembatasan output produksi dan konsumsi. Hal ini dikarenakan barang premium dan mewah akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi di samping pengenaan Pajak Penjualan Barang, Mewah (PPnBm ). Studi di Norwegia ( 2011 ) menunjukkan bahwa kerugian bobot mati meningkat 2% dibandingkan ketika Norwegia menerapkan tarif tunggal.  Proporsi terbesar adalah pada sisi permintaan karena berkurangnya konsumsi barang premium akibatnya harga barang semakin tinggi.

Perlu Antisipasi

Penerapan multitaarif PPN memang ditujukan untuk mengurangi dampak regresivitas dan menciptakan keadilan.  Akan tetapi, perlu dilakukan langkah antisipatif untuk mengurangi dampak kompleksivitas dan inefisiensi ekonomi

Biaya kepatuhan dapat direduksi dengan menyederhanakan proses pelaporan. China telah berhasil meringankan beban kepatuhan bagi pengusaha kecil dan menengah melalui penyederhanaan pelaporan pajak.  Perusahaan kecil di china dapat melaporkan pajak pertambahan nilai setiap kuartal alih – alih bulanan

Pengembangan sistem IT yang efisien juga diperlukan. India telah mengembangkan sebuah sistem bernama Goods and Services Tax Network ( GSTN ) yang memudahkan pengusaha untuk mencetak bukti tagihan secara terintegrasi dengan system pajak. Sistem manajemen informasi yang andal dan sejalan dengan kebijakan pemerintah akan mengurangi potensi kesalahan manual

Reformasi Pajak serta pengembangan sistem administrasi di Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) akan mengurangi dampak biaya administrasi yang timbul. Melalui sistem pengawasan yang terintegrasi dengan sistem wajib pajak, celah penghindaran pajak dapat diminimalisasi

Selain itu, Kapasitas pemahaman petugas pajak terhadap proses bisnis dan kebijakan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kewajiban pelaporan proses bisnis secara berkala menjadi krusial. Lebih lanjut , aturan turunan terkait beleid ini harus didefinisikan secara detail terutama terkait klasifikasi barang dan jasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan penafsiran antara petugas pajak dan wajib pajak

Peningkatan kerugian bobot mati memang tidak berdampak terlalu signifikan. Akan tetapi, Peningkatan tersebut tetap menimbulkan efek bagi ekonomi makro. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan non-pajak seperti kemudahan perijinan kemudahan investasi dan pemasaran serta insentif

Dengan mempertimbangkan aspek – aspek risiko atas penerapan kebijakan multitarif PPN serta menerapkan langkah – langkah antisipatif, resiko kompleksitas dan inefisiensi dapat direduksi. Pada akhirnya, harapan akan terwujudnya keadilan serta berkurangnya regresivitas dapat diwujudkan

Sumber : Harian Kontan, Rabu 13 Oktober 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only