Komitmen Terhadap Ekonomi Hijau

Pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga bagi seluruh penduduk Bumi. Bahwa, bencana dapat datang kapan saja dan menghancurkan banyak hal yang berharga. Bencana ini mendorong dunia semakin memperhatikan sinyal-sinyal yang diberikan alam seperti perubahan iklim.

Perdana Menteri Inggris pun berpikir perlu mengajak 120 kepala negara dan pemerintahan secara bersama-sama mengamankan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang. Boris Johnson memandang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP-26 di Glasgow, Skotlandia, pada 1 dan 2 November 2021 merupakan momentum pemulihan Bumi menjadi lebih bersih dan membangun lebih hijau. Ajakan ini disambut Presiden Joko Widodo dengan komitmen dan konsistensi posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim.

Komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim dan ekonomi hijau terlihat dari kebijakan fiskal. Dari sisi pendapatan, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pemerintah mengatur penerapan pajak karbon sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.

Kebijakan ini merupakan bukti komitmen Indonesia menerapkan pembangunan hijau. Sekaligus menegaskan Indonesia sebagai salah satu negara yang menerapkan pajak karbon lebih awal dan menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia, terutama dari negara kekuatan ekonomi baru.

Melalui pajak karbon, Pemerintah mendorong perubahan perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau. Sehingga, target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional bisa dicapai 2030.

Pengenaan pajak karbon juga memberi sinyal kuat percepatan perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Penerimaan negara dari pajak karbon bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk penanganan perubahan iklim dan ekonomi hijau, tapi untuk memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU Batubara pada 1 April 2022. Dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi (cap and tax), setiap jumlah emisi yang melebihi batas akan dikenakan pajak sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.

Wajib pajak dapat membeli sertifikat karbon di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya. Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon menjadi tonggak strategis menuju perekonomian hijau dan bukti keseriusan Indonesia dalam pengendalian iklim global.

Berperan sebagai penentu arah (bukan pengikut) kebijakan dunia dalam transisi menuju pembangunan berkelanjutan, akan menjadikan Indonesia sebagai rujukan dan tujuan utama investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan seperti energi, transportasi dan industri manufaktur.

Selanjutnya dari sisi belanja, Pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk lingkungan hidup. Periode 2017-2020, rata-rata realisasi anggaran perlindungan hidup tumbuh sebesar 7,1% dari Rp 10,6 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 13 triliun di tahun 2020. Dukungan anggaran ini berhasil merehabilitasi hutan dan lahan kritis seluas 219.600 hektare (ha) secara vegetatif pada tahun 2017 dan tambahan seluas 56.000 ha pada 2021. Restorasi 198.700 ha lahan gambut yang terdegradasi juga telah dituntaskan, dimana pada tahun 2021 ditargetkan restorasi 300.000 ha. Termasuk, penyediaan 17 unit instalasi pengolah air limbah pada 2021 setelah sebanyak 4 unit berhasil disediakan pada 2017.

Konsistensi program

Konsistensi dukungan anggaran juga terlihat pada Rencana Kerja Pemerintah tahun 2022. Dimana, membangun lingkungan hidup merupakan salah satu dari 7 prioritas nasional dengan tujuan meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Ada rencana alokasi sebesar Rp 14,1 triliun atau naik 0,4% dari outlook 2021 yang dikhususkan untuk perlindungan lingkungan hidup. Anggaran ini diarahkan menciptakan masyarakat yang tangguh serta adaptif dalam mendukung pemulihan dan transformasi dampak Covid-19 menuju pembangunan yang lebih hijau berkelanjutan.

Anggaran tersebut untuk membiayai, antara lain program pengurangan dan penanggulangan beban pencemaran. Agar tercipta peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, terutama penanganan limbah B3 medis pasca pandemi.

Selain itu program peningkatan kualitas udara, air, air laut, dan lahan sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat. Penguatan sistem ketahanan bencana dan peringatan dini terhadap multi ancaman bencana juga menjadi prioritas lainnya. Baik yang bersifat seketika seperti gempa bumi, tsunami, likuifaksi, gerakan tanah, dan banjir bandang.

Terakhir, dari sisi tranfer ke daerah dukungan anggaran ditujukan mendukung peningkatan kapasitas pengelolaan sampah, peningkatan circular economy pengelolaan persampahan, serta peningkatan pemanfaatan data kualitas air dan merkuri sebagai pengambilan kebijakan.

Komitmen tersebut diwujudkan melalui output sarana dan prasarana Dana Alokasi Khusus Fisik 2022, yaitu pengelolaan sampah dan pendukungnya sejumlah 1.774 unit, pengadaan unit pemantauan kualitas air sebanyak 225 unit dan pengadaan 45 paket peralatan laboratorium pengujian kualitas air dan merkuri.

Sejak 2019 Pemerintah juga mengalokasikan anggaran bantuan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah bagi daerah. Bantuan ini bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan melalui pengurangan volume sampah. Sehingga dapat mendukung daerah yang mengalami darurat sampah dan pengembangan energi melalui percepatan terwujudnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah.

Komitmen dan konsistensi memang penting karena mitigasi dan adaptasi perubahan iklim membutuhkan anggaran yang besar dan berhadapan dengan trade-off pemenuhan prioritas pembangunan jangka pendek (Gilmore dan Clair, 2018). Bank Dunia (2014) juga mencatat penanganan perubahan iklim membutuhkan perencanaan jangka panjang dan pendanaan yang besar.

Karenanya, Leibenluft (2020) menyatakan dibutuhkan cara berfikir baru memandang hubungan antara prioritas fiskal dan iklim. Hal ini karena penanganan perubahan iklim dampaknya tidak dapat dirasakan secara langsung.

Namun, perlu dicermati bahwa jika aksi mitigasi dan adaptasi tidak dilakukan, maka perubahan iklim memiliki potensi memberi tekanan besar terhadap anggaran negara sebagai dampak dari kejadian ekstrem, penanggulangan bencana dan penurunan basis pendapatan karena terganggunya aktivitas perekonomian serta aktivitas usaha yang pada akhirnya menurunkan penerimaan sektor perpajakan (Gilmore, 2021).

Sehingga, sejatinya penanganan perubahan iklim bermakna mencegah terjadinya bencana yang dapat merusak Bumi dan hilangnya generasi yang dapat membebani fiskal di masa depan.

Sumber : Harian Kontan, Juma’t 05 November 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only