Selain Peserta Tax Amnesty, Hanya Wajib Pajak OP yang Bisa Ikut PPS

JAKARTA – Program pengungkapan sukarela (PPS) atas harta perolehan 2016-2020 hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (9/11/2021).

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menjelaskan skema kebijakan II PPS tersebut hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi karena wajib pajak badan seharusnya sudah patuh memenuhi ketentuan pajak.

“Wajib pajak badan memang tidak [bisa memanfaatkan skema kebijakan II PPS] karena seharusnya setelah tax amnesty menjadi lebih tertib. Wajib pajak badan pembukuannya lengkap sehingga mendapatkan perlakuan berbeda,” katanya.

Seperti diketahui, sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPS dibagi menjadi 2 skema kebijakan. Skema kebijakan I (perolehan harta 1985-2015) berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty.

Selain mengenai kebijakan PPS yang ada dalam UU HPP, ada juga bahasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang strategi pemerintah dalam upaya menurunkan angka sengketa pajak.

Wajib Pajak Orang Pribadi

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan untuk meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak orang pribadi, pemerintah masih perlu memberikan kebijakan khusus. Salah satunya melalui PPS.

“Mayoritas yang belum tertib itu memang wajib pajak orang pribadi. Jadi, kesempatan ini diberikan kepada orang pribadi untuk kebijakan II PPS,” ujarnya.

Yoga berharap wajib pajak orang pribadi mendeklarasikan hartanya melalui skema kebijakan II PPS. Terhadap wajib pajak yang turut serta dalam kebijakan II PPS tidak akan diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban pajak tahun pajak 2016 hingga 2020.

Pada Juli 2021, penerimaan pajak tercatat tumbuh sebesar 7,6%. Pada Agustus, penerimaan pajak tercatat masih mampu tumbuh hingga 9,52%. Yang terbaru, penerimaan pajak pada September 2021 dilaporkan tumbuh sebesar 13,25%.

“Dari bulan ke bulan menunjukkan tren perkembangan yang sangat baik sehingga menimbulkan optimisme kita akan mampu mengoptimalkan penerimaan pada tahun ini,” ujar Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.

Risiko Shortfall

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan ada peluang untuk mencapai target penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.229,6 triliun. Hal ini berkaca dari pola rebound penerimaan pajak selama tiga bulan terakhir. Kondisi ini menunjukkan penanganan masalah kesehatan berpengaruh.

Namun demikian, risiko shortfall – selisih kurang realisasi dan target – tetap ada. DDTC Fiscal Research memproyeksi penerimaan pajak tahun ini senilai Rp1.194 triliun atau shortfall sekitar Rp27 triliun dari target akhir 2021. Angka itu melampaui outlook pemerintah sebelumnya senilai Rp1.142 triliun.

“Selain itu, pencapaian tahun 2021 ini akan membuat target penerimaan pajak 2022 sebesar Rp1.265 triliun akan relatif achievable,” ujar Bawono.

Upaya Menurunkan Angka Sengketa Pajak

Staf Ahli Menkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Iwan Djuniardi mengatakan upaya untuk menurunkan sengketa pajak terbagi atas 3 kategori. Pertama, peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia (SDM).

Kedua, perubahan regulasi kebijakan perpajakan. Pada aspek ini, otoritas sudah melakukan beberapa kegiatan seperti menerbitkan UU Cipta Kerja di bidang perpajakan dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Ketiga, pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan dengan mengintegrasikan sistem perpajakan dan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam menangani sengketa perpajakan.

RUU HKPD

Komisi XI DPR bersama pemerintah pusat terus mengumpulkan masukan dari pemerintah daerah (pemda) terkait dengan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Wakil Ketua Komisi XI Fathan mengatakan Komisi XI dan pemerintah ingin menghimpun berbagai aspirasi pemda untuk menyempurnakan RUU HKPD. Menurutnya, RUU tersebut diharapkan mampu memperkuat fiskal daerah sehingga pemerataan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

“RUU HKPD ini didesain agar ada satu skema fiskal yang adil antara daerah yang kaya dan juga daerah-daerah yang miskin sehingga rumusan kami adalah rumusan yang lebih berkeadilan,” katanya.

Cukai dan Peredaran Rokok Ilegal

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan sejak 2010, rata-rata tarif cukai hasil tembakau (CHT) meningkat 10,25% setiap tahunnya.

Pada periode tersebut, rata-rata tingkat peredaran rokok ilegal di Indonesia adalah sebesar 8%. Khusus pada 2020, ketika tarif CHT secara rata-rata naik 23,5%, peredaran rokok ilegal merangkak naik dari 3,03% pada 2019 menjadi 4,86% pada 2020.

“Dengan tingginya kenaikan tarif, ada kecenderungan rokok ilegal menjadi naik. Ini yang perlu kita dalami,” ujar Akbar.

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only