Para pejabat Federal Reserve kembali mempertegas rencana bank sentral AS untuk mulai mengurangi stimulus pembelian obligasi dan aset negara. The Fed memandang pengurangan stimulus sudah bisa dilakukan mengingat ekonomi AS terus membaik dan inflasi mulai meningkat. Kebijakan yang dikenal juga dengan istilah tapering off ini diperkirakan akan berdampak terhadap perekonomian sejumlah negara, tidak terkecuali Indonesia. Rencana tapering off yang akhir-akhir ini semakin kuat digaungkan sontak membuat pasar saham dan keuangan bergejolak.
Lalu sebenarnya apakah itu tapering off dan bagaimana dampaknya?
Dilansir dari thebalance.com, tapering mengacu pada penghentian atau pengurangan program tertentu oleh bank sentral. Pada 2013, pejabat The Fed Ben Bernanke untuk pertama kalinya menggunakan istilah itu di depan Kongres dan menyampaikan akan mengurangi program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). Kebijakan tersebut lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor. Investor khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut terhadap pasar. Pengurangan stimulus dinilai dapat berimbas pada rontoknya pasar saham dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Bernanke saat itu mengatakan penerapan kebijakan itu tergantung pada data yang masuk mengingat perbaikan ekonomi AS. Ia berharap pendekatan berbasis data ini dapat mendorongnya untuk mulai mengurangi QE sebelum akhir tahun 2013, dengan program yang berakhir seluruhnya pada tahun 2014 atau dilakukan secara bertahap. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat kebijakan tapering off oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, akan memberikan efek samping bagi dunia usaha. Pasalnya, dunia usaha saat ini juga tengah berjuang untuk terlepas dari dampak resesi. “Bagi dunia usaha ini (tapering off) tentu bukan berita bagus, di saat ekonomi belum keluar dari resesi, rencana ini menambah tekanan ketidakpastian di dunia usaha,” kata Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto.
Secara umum, menurut Eko, kebijakan penarikan stimulus ini dampaknya akan lebih minim jika dilakukan secara bertahap. Meski demikian, dalam jangka pendek isu ini tetap akan diwaspadai oleh pelaku pasar keuangan dan pasar modal. Eko meyakini dampak dari kebijakan The Fed ini sudah masuk perhitungan pelaku pasar (price in). Namun isu tapering off ini tetap harus diwaspadai dan menjadi perhatian. Pemerintah perlu melakukan antisipasi, terutama terkait dampak jangka pendek yang dapat membuat pasar bergerak volatil.
Senada, Center of Reform on Economics (CORE) menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. “Hal ini seiring dengan investor yang sering melakukan konsolidasi akibat sentimen tapering off,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet. Kebijakan The Fed ini juga akan berpengaruh pada pergerakan pasar saham. Selain itu, menurut Yusuf, nilai tukar rupiah akan berpotensi melemah di awal The Fed melakukan tapering off karena ada aliran modal yang keluar. Namun, Yusuf melihat kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama. “Saya yakin Bank Indonesia akan melakukan intervensi jika pelemahan nilai tukarnya sangat dalam,” kata Yusuf.
Secara umum, Yusuf melihat, kebijakan The Fed ini akan berdampak pada sektor-sektor swasta yang melakukan utang dalam mata uang dolar AS. Untuk itu mereka perlu memitigasi rencana The Fed ini. Hedging atau lindung nilai merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan. Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai beberapa industri akan terimbas kebijakan Tapering The Fed. Volatilitas kurs akan membuat impor naik signifikan dan memukul industri manufaktur yang menggunakan bahan baku impor.
Salah satu yang terdampak yaitu industri farmasi yang sekitar 90 persen bahan bakunya merupakan impor. Menurut Bhima, kebijakan The Fed tersebut bisa mempengaruhi keberlanjutan bisnis farmasi. Sehingga harga jual produk di level konsumen pun akan meningkat. “Ancaman inflasi ini perlu segera diantisipasi karena daya beli pada 2022 diperkirakan belum kembali ke level pra pandemi,” ujar Bhima. Di sisi lain, lanjut Bhima, minat dana asing untuk masuk ke instrumen di negara berkembang seperti Indonesia juga akan menurun. Hal tersebut lantaran ekonomi Indonesia sedang terganggu akibat pandemi sehingga akan pemulihan akan lebih lambat dibanding negara lainnya.
Sumber : Republika
Normal
0
false
false
false
EN-US
X-NONE
X-NONE
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
Para pejabat Federal Reserve kembali mempertegas rencana bank sentral AS
untuk mulai mengurangi stimulus pembelian obligasi dan aset negara. The Fed
memandang pengurangan stimulus sudah bisa dilakukan mengingat ekonomi AS terus
membaik dan inflasi mulai meningkat. Kebijakan yang dikenal juga dengan istilah
tapering off ini diperkirakan akan berdampak terhadap perekonomian
sejumlah negara, tidak terkecuali Indonesia. Rencana tapering off yang
akhir-akhir ini semakin kuat digaungkan sontak membuat pasar saham dan keuangan
bergejolak.
Lalu sebenarnya apakah itu tapering off dan bagaimana dampaknya?
Dilansir dari thebalance.com, tapering mengacu pada penghentian
atau pengurangan program tertentu oleh bank sentral. Pada 2013, pejabat The Fed
Ben Bernanke untuk pertama kalinya menggunakan istilah itu di depan Kongres dan
menyampaikan akan mengurangi program pembelian obligasi yang dikenal sebagai
pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). Kebijakan tersebut
lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor. Investor
khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut
terhadap pasar. Pengurangan stimulus dinilai dapat berimbas pada rontoknya
pasar saham dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Bernanke saat itu mengatakan penerapan kebijakan itu tergantung pada data
yang masuk mengingat perbaikan ekonomi AS. Ia berharap pendekatan berbasis data
ini dapat mendorongnya untuk mulai mengurangi QE sebelum akhir tahun 2013,
dengan program yang berakhir seluruhnya pada tahun 2014 atau dilakukan secara
bertahap. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melihat
kebijakan tapering off oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, akan
memberikan efek samping bagi dunia usaha. Pasalnya, dunia usaha saat ini juga
tengah berjuang untuk terlepas dari dampak resesi. “Bagi
dunia usaha ini (tapering off) tentu bukan berita bagus, di saat ekonomi belum
keluar dari resesi, rencana ini menambah tekanan ketidakpastian di dunia
usaha,” kata Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto.
Secara umum, menurut Eko, kebijakan penarikan stimulus ini dampaknya akan
lebih minim jika dilakukan secara bertahap. Meski demikian, dalam jangka pendek
isu ini tetap akan diwaspadai oleh pelaku pasar keuangan dan pasar
modal.
Eko meyakini dampak dari kebijakan The Fed ini sudah masuk perhitungan
pelaku pasar (price in). Namun isu tapering off ini tetap
harus diwaspadai dan menjadi perhatian. Pemerintah perlu melakukan antisipasi,
terutama terkait dampak jangka pendek yang dapat membuat pasar bergerak
volatil.
Senada, Center of Reform on Economics (CORE) menilai kebijakan tersebut akan
berdampak pada meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. “Hal ini
seiring dengan investor yang sering melakukan konsolidasi akibat sentimen tapering
off,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy
Manilet.
Kebijakan The Fed ini juga akan berpengaruh pada pergerakan pasar saham.
Selain itu, menurut Yusuf, nilai tukar rupiah akan berpotensi melemah di awal
The Fed melakukan tapering off karena ada aliran modal yang keluar.
Namun, Yusuf melihat kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama.
“Saya yakin Bank Indonesia akan melakukan intervensi jika pelemahan
nilai tukarnya sangat dalam,” kata Yusuf.
Secara umum, Yusuf melihat, kebijakan The Fed ini akan berdampak pada
sektor-sektor swasta yang melakukan utang dalam mata uang dolar AS. Untuk itu
mereka perlu memitigasi rencana The Fed ini. Hedging atau lindung nilai
merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan.
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai beberapa
industri akan terimbas kebijakan Tapering The Fed. Volatilitas kurs akan
membuat impor naik signifikan dan memukul industri manufaktur yang menggunakan
bahan baku impor.
Salah satu yang terdampak yaitu industri farmasi yang sekitar 90 persen
bahan bakunya merupakan impor. Menurut Bhima, kebijakan The Fed tersebut bisa
mempengaruhi keberlanjutan bisnis farmasi. Sehingga harga jual produk di level
konsumen pun akan meningkat.
“Ancaman inflasi ini perlu segera diantisipasi karena daya beli pada
2022 diperkirakan belum kembali ke level pra pandemi,” ujar Bhima.
Di sisi lain, lanjut Bhima, minat dana asing untuk masuk ke instrumen di
negara berkembang seperti Indonesia juga akan menurun. Hal tersebut lantaran
ekonomi Indonesia sedang terganggu akibat pandemi sehingga akan pemulihan
akan lebih lambat dibanding negara lainnya.
Mengenal Istilah Tapering dan Imbasnya bagi Indonesia
by
Tags:
artikel pajak, berita pajak, DPR, efek tax amnesty, kebijakan negara, kebijakan pajak, kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah APBN, nilai jual objek pajak, NJOP, pajak, pajak bumi dan bangunan, pajak indonesia, Pajak Pertambahan Nilai, PBB, pelaksanaan pengampunan pajak, pelaksanaan tax amnesty, pemeriksaan, pemeriksaan pajak, pemutihan pajak, penerimaan negara, penerimaan pajak, Pengampunan pajak, PPh, PPh migas, PPh nonmigas, PPn, repatriasi dana, repatriasi dana dari luar negeri
Leave a Reply