Hingga tanggal 4 November 2021, Acuan Pergerakan Surat Utang Indonesia, yakni Indonesia Bond Indexes (IndoBex) telah tumbuh 5,11%, Sepanjang tahun ini atau year-to date (ytd). Kenaikan tersebut berasal dari lonjakan Indobex Goverment yang mengindikasikan Pergerakan Obligasi Pemerintah (SUN) secara keseluruhan, yang tumbuh 4,78% ytd. Begitu pula dengan IndoBex Corporate, menggambarkan kondisi obligasi korporasi total, yang juga tumbuh 8,88% ytd di waktu yang sama.
Pertumbuhan IndoBex yang positif tersebut turut didorong penurunan yield, khususnya tenor jangka pendek, di kedua instrumen. Per 4 November 2021, penurunan yield SUN terbesar berasal dari SUN tenor 3 Tahun yang turun 147,04 bps ytd. Sementara penurunan yield obligasi korporasi terbesar terjadi pada Obligasi Korporasi Rating AAA (Triple-A) tenor 1 tahun, yang turun 147,04 bps sepanjang tahun.
Pertanyaanya, dengan performa yang cukup baik dan penurunan yield yang telah berlangsung dengan sangat besar, apakah SUN ataupun obligasi korporasi masih menarik untuk ke depan ? terlebih risiko tapering off akan mulai dilakukan di akhir November Mendatang. Mari Kita simak Pertama, dari sisi likuiditas global. Sejauh ini walaupun tapering off akan dilakukan, namun perlu dingat bahwa hal ini merupakan bentuk pengurangan tambahan injeksi. Jadi bukan lift-off atau pengurangan likuiditas. Disamping itu, Powell juga menambahkan di pidato hasil FOMC Meeting, bahwa tapering off kali ini tidak akan diikuti oleh kenaikan Fed Rate dalam waktu dekat, setidaknya hingga akhir 2022.
Akibatnya, Tapering Off kali ini malah diikuti dengan penurunan yield US Treasury sehari setelahnya, dimana pada 4 November yield tenor 12 bulan, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun mencatatkan penurunan sebesar 1.40 bps, 4.15 bps, 7.76 bps, 7.72 bps dan 5.72 bps (day to day, dtd) masing-masingnya.
Begitupun dengan lelang primer US Treasury pada 4 November untuk 4 week bill dan 8 week bill yang turun 1.50 bps, dan 4.00 bps dibanding sebelumnya. Sehingga secara tidak langsung hal ini turut mencerminkan bahwa dampak tapering off tergolong minimal dan likuiditas global masih sangat bagus.
Kedua, dari sisi likuiditas domestik. Walau terdapat penurunan kepemilikan tradable SUN oleh investor asing (non residen) sebesar Rp. 52.91 Triliun hingga 3 November 2021 (ytd), namun dengan tambahan kepemilikan tradable SUN oleh Bank Indonesia sebesar Rp. 220, 26 Triliun dan perbankan sebesar Rp. 62.38 Triliun di periode yang sama, memperlihatkan bahwa likuiditas SUN masih terjaga, begitu juga dengan stabilitas SUN ke depan. Hal ini seiring dengan burrden sharing yang telah disahkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III dan akan berlaku hingga 31 Desember 2022 mendatang.
Disamping itu, hal ini turut di ikuti dengan volume dan frekuensi transaksi yang meningkat.
Misalnya untuk SUN, hingga September 2021 Volume Transaksi mencapai Rp. 10.741,4 Triliun atau naik 51,8% dan 108,12% jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2020 dan 2019. Sementara total Frekuensi transaksi yang meningkat dari hanya 205.300 kali pada Januari-September 2019, menjadi 321.070 transaksi di 2020, dan mencapai 411.930 transaksi di periode yang sama tahun 2021.
Sementara untuk obligasi korporasi, outstanding yang terus berkurang dari Rp. 445.10 Triliun di akhir 2019, menjadi Rp. 425.71 Triliun di akhir 2020 , dan berada pada Rp, 422.01 Triliun di akhir September 2021 mendorong volume dan transaksi frekuensi obligasi korporasi terus berkurang.
Walaupun begitu, dengan yield obligasi korporasi, khususnya rating-AAA (Triple-A) dan rating AA (Double-A) berbagai tenor yang turun antara 33,43 bps hingga 143.04 bps. Ini membuat yield spread obligasi korporasi-SUN pun turut mengecil. Bahkan untuk Rating-AAA (Triple-A ) tenor 1 Tahun telah turun dari 196.32 bps di awal tahun menjadi hanya 60.98 bps di 4 November 2021. Tentunya ini dapat menjadi acuan bahwa obligasi korporasi makin diminati, dengan likuiditas yan terjaga.
Ketiga, dengan keluarnya Pemberitahuan Pembatalan Jadwal Pelaksanaan SBN di Pasar Perdana Domestik pada 4 November 2021, tentunya diharapkan likuiditas dan minat perdagangan SUN di pasar sekunder menjadi lebih marak.
Apabila bila melihat pada pembatalan lelang tahun sebelumnya dimana di 2017 terjadi pada 28 November dan 2019 pada 28 November yang berdampak pada turunnya yield SUN. Misalnya pada 2017 yield SUN di tenor yang sama sebesar 6.40 bps dari 23 November hingga akhir tahun tersebut.
Walaupun begitu, dengan target net issuance sebesar Rp. 1.207, 3 Triliun di APBN 2021, sementara penghentian lelang SBN dilakukan saat net issuance baru mencapai Rp. 629.47 Triliun. Ini memperlihatkan bahwa risiko fiskal di tahun ini jauh lebih rendah dibanding perkiraan yang tercantum di APBN 2021.
Dengan kata lain, hal ini juga mengindikasikan defisit APBN terhadap PDB akan lebih kecil dari 5,82% di akhir 2021 nanti. Sehingga harapannya, dengan risiko fiskal yang lebih rendah di sisa tahun maka risk premiumIndonesia juga dapat ditekan lebih rendah. Dan ini berdampak pada yield SUN yang akan bergerak ke tingkat yang lebih rendah.
Keempat, yang juga merupakan game changer di pasar obligasi tahun ini, adalah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berlaku per tanggal 30 Agustus 2021. Dimana hal ini membuat tarif PPh atas bunga obligasi bagi investor lokal turun dari 15% ke 10%.
Sehingga hal ini turut mendorong makin aktratifnya pasar obligasi dalam negeri, baik SUN dan obligasi korporasi. Dan ini sering dengan net-return (imbal hasil bersih) yang didapatkan makin tebal dan keuntungan komparatif yang makin baik dibanding instrumen lain dengan profil risiko yang Identik.
Sumber : Harian Kontan, Rabu 10 November 2021 hal : 15
Leave a Reply