Pajak Bidik Fasilitas dan Tunjangan Non-Tunai Para Pemimpin Perusahaan

JAKARTA. Nyaris tak ada yang luput dari incaran pajak. Dalam waktu dekat, pemerintah, misalnya, akan memungut pajak fasilitas dan tunjangan non-uang (natura) yang diterima direksi maupun pemimpin perusahaan.

Kelak, para pimpinan level manajerial ke atas harus memasukkan fasilitas berupa barang yang mereka terima dari perusahaan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Saat pelaporan, fasilitas itu bakal dikalkulasi dalam setoran pajak orang pribadi. “Yang dikenakan pajak merupakan frige benefit, yang dalam beberapa segmen profesi tertentu luar biasa besar,” kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, Jumat (19/11).

Pemerintah akan menetapkan batasan atas nilai fasilitas tunjangan yang diterima para petinggi perusahaan tersebut. Namun demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak natura ini tak berlaku atas fasilitas yang diterima karyawan, seperti ponsel dan laptop.

Aturan main pajak natura tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ketentuan ini mengubah Pasal 4 UU PPh. Perubahannya adalah: penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima, diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek PPh.

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mencontohkan, seorang wajib pajak yang sangat kaya, punya 13 perusahaan, tapi tak pernah menerima gaji dari perusahaan miliknya. Tapi, ia mendapatkan fasilitas mobil, rumah, dan lainnya.

Lantaran fasilitasnya bukan berbentuk uang, selama ini tidak dihitung sebagai penghasilan yang dilaporkan saat mengisi SPT. “Ini yang diubah,” kata Yon.

Perhitungan pajak natura ini bukan dari harga mobil yang didapat sebagai fasilitas. Melainkan dari perkiraan mobil bila disewakan oleh perusahaan dengan menghitung penyusutan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani setuju dengan kebijakan ini atas dasar pertimbangan keadilan perpajakan. Tapi, “Hanya sedikit wajib pajak orang pribadi yang masuk kriteria tersebut. Sehingga, tidak akan terlalu berdampak besar terhadap penerimaan pajak,” ujar dia.

Pengamat Pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tepat kebijakan ini. Pandemi menjadi momentum untuk mereformasi kebijakan pajak, termasuk pajak natura. “Biasanya memang dijadikan alat menghindari tarif progresif PPh Pasal 17 orang pribadi. Dibanding kena tarif PPh orang pribadi tertinggi, lebih baik dikenakan tarif PPh badan yang hanya 22%,” kata dia.

Sumber : Harian Kontan Sabtu 20 November 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only