Sri Mulyani Ingin Kesepakatan Pajak Global Untungkan Negara Berkembang

JAKARTA – Isu pajak internasional menjadi salah satu fokus yang dibahas dalam Presidensi G-20 Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kesepakatan mengenai pajak internasional menjadi isu penting yang ingin dicapai dalam pertemuan G-20 pada 2022.

Menurutnya, Indonesia akan mendorong setiap kesepakatan dalam pajak internasional tersebut menguntungkan semua negara berkembang.

“Ini kami harapkan bisa tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia tapi juga bagi emerging dan developing country yang lain,” katanya dalam Working Lunch: Outlook Ekonomi Indonesia 2022, Rabu (15/12/2021).

Sri Mulyani mengatakan terdapat 6 agenda prioritas Indonesia sebagai Presidensi G-20 2022 yang bertema ‘Recover Together, Recover Stronger‘. Pertama, memulihkan perekonomian global secara bersama-sama dan lebih kuat dari sebelumnya.

Dalam forum tersebut anggota G-20 akan membahas rencana exit policy setelah pandemi Covid-19, sekaligus memastikan kebijakan tersebut tidak berdampak negatif terhadap negara berkembang.

Kedua, mengupayakan pemulihan luka atau scarring effect pada perekonomian global sebagai dampak pandemi Covid-19. Hal itu penting karena pandemi telah menyebabkan disrupsi besar pada perekonomian yang tidak mudah untuk pulih.

Ketiga, mengenai kebijakan mata uang digital bank sentral yang dalam pembahasannya juga akan banyak melibatkan gubernur bank sentral anggota G20.

Keempat, mengenai sistem keuangan yang berkelanjutan lantaran berkaitan dengan perubahan iklim sehingga sistem keuangan harus didorong ke arah yang lebih ramah lingkungan.

Isu pembayaran lintas batas negara juga dibicarakan karena digitalisasi ekonomi semakin luas diterapkan. Anggota G-20 akan membahas sistem pembayaran lintas batas yang cepat, murah, dan transparan.

Kelima, mengenai inklusi keuangan untuk digitalisasi UMKM agar kelompok tersebut memiliki kesempatan untuk terus berkembang.

Terakhir, mengenai perpajakan internasional. Menurut Sri Mulyani, pembahasan mengenai perpajakan internasional tersebut penting karena semua negara ingin segera memulihkan APBN yang salah satunya melalui peningkatan pendapatan pajak, termasuk negara berkembang.

“Dalam G-20, deliverable yang penting dari sisi keuangan negara adalah global taxation agreement,” ujarnya.

Saat ini, G-20 telah menyepakati Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan internasional. Proposal Pilar 1: Unified Approach diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.

Pilar 1 mencakup perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10%. Keuntungan perusahaan multinasional tersebut kemudian dibagikan kepada negara pasar jika perusahaan memperoleh setidaknya EUR1 juta (atau EUR250 ribu untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar) dari negara pasar tersebut.

Salah satu perkembangan dari kesepakatan G-20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25% keuntungan perusahaan multinasional kepada negara pasar. Jumlah tersebut kemudian akan dibagikan kepada negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut.

Pengaturan yang semakin konkret itu dinilai menjadi perkembangan baik bagi negara pasar, termasuk Indonesia. Dengan alokasi 25%, artinya sistem perpajakan menjadi lebih adil dibandingkan saat ini ketika tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya bentuk usaha tetap (BUT).

Sementara pada Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), akan mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar EUR750 juta atau lebih.

Dengan pajak minimum pada Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi. Pilar 2 akan memastikan perusahaan multinasional dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15%.

Selain itu, laporan OECD “Statement on A Two-Pillar Solution to Address Tax Challenges Arising From the Digitalization of the Economy” juga menyebutkan bahwa Pilar 2 akan melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu seperti bunga dan royalti menjadi minimal sebesar 9%. (sap)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only