Banggar: Tidak Semua Barang kena Tarif PPN 11 % sudah Sesuai Amanat UU HPP

JAKARTA – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan kenaikan tarif PPN 11% yang berlaku mulai 1 April 2022 merupakan amanat dalam UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meski demikian, kebijakan ini dipastikan tidak akan memberikan tekanan pada sisi inflasi. Mengingat tidak semua barang akan dikenakan PPN.

Sebagaimana diketahui dalam UU HPP, pengenaan PPN hanya berlaku untuk beberapa barang/jasa. Sedangkan barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN, yakni kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.

Kemudian, tarif PPN 0% juga diterapkan pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. Secara lebih rinci, ada 15 barang/jasa yang tak kena PPN alias tarif PPN 0%. Hal ini tercantum dalam pasal 16B dan pasal 4A UU HPP. Barang/jasa tersebut, adalah jenis makanan dan minuman tertentu, uang dan emas batangan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan pemerintah, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering. Kemudahan dalam pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final, misalnya 1%, 2%, atau 3%, dari peredaran usaha.

“Sebenarnya pikiran saya sejalan dengan apa yang telah ditempuh oleh pemerintah saat ini, sebab tidak semua barang kena PPN dikenakan tarif 11 %. Artinya pemerintah tidak memberlakukan semuanya kena 11 %. Sembako, dan Bahan bakar minyak misalnya adalah contoh barang yang dikenakan pembebasan PPN,” tandas Said kepada Investor Daily, Rabu (30/3/2022).

Said menjelaskan dalam pasal 7 ayat 3 Undang Undang No 7 tahun 2021 juga memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk mengubah tarif PPN dari 11 % menjadi paling rendah 5 % dan paling tinggi 15 %. “Pasal 7 ayat 3 ini merupakan senjata ampuh bagi pemerintah untuk menjalankan berbagai kebijakan insentif dan disinsentif perpajakan dalam menopang ekonomi nasional,” ucapnya.

Dengan fleksibilitas yang diatur dalam pasal 7 ayat 3, kata Said, dapat digunakan oleh pemerintah untuk menaikkan beberapa barang yang sekiranya bisa diatas 11 % sebagai usaha untuk menambah kekurangan dari beberapa barang kena PPN yang dibebaskan. “Misalnya barang mewah impor bisa dikenakan PPN diatas 11 %. Bersyukur pikiran pikiran saya ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh pemerintah dengan membuat kombinasi ada yang kena PPN 11 % , ada yang kena pembebasan dan ada yang dikenakan PPN diatas 11 %,” tambahnya.

Sementara itu, Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet mengatakan, tensi geopolitik Rusia-Ukraina telah menyebabkan naiknya harga beberapa komoditas pangan strategis. Hal ini tentu akan berdampak terhadap angka inflasi baik di bulan ini dan juga di bulan depan. Apalagi awal bulan April merupakan momentum Ramadhan yang umumnya akan terjadi peningkatan permintaan barang dan jasa.

“Kombinasi kenaikan harga pangan strategis dan peningkatan permintaan tentu akan mendorong angka inflasi menjadi lebih tinggi,” jelas Yusuf.

Disisi lain, Yusuf menyebut permintaan yang meningkat karena dorongan faktor musiman Ramadhan ditambah kenaikan PPN 11%, maka kenaikan ini berpotensi besar akan direspon oleh pelaku usaha dengan melakukan penyesuaian harga. “Apalagi kita tahu bahwa ongkos produksi berpotensi meningkat. Alhasil, jika tidak ditunda dan tidak ada bantuan dari pemerintah, maka konfigurasi ini berpotensi menekan purchasing power masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah,” tegasnya.

Meski belum memiliki proyeksi secara resmi, Yusuf menilai inflasi pada bulan April sejalan kenaikan PPN. Namun, ia memastikan inflasi bulan depan akan lebih tinggi dibandingkan periode Maret . Dengan tekanan yang besar disisi masyarakat, ia menyarankan agar pemerintah melanjutkan berbagai program bantuan sosial tunai dan bantuan sembako seperti yang disalurkan di tahun lalu. Hal ini untuk meringankan kelompok yang membutuhkan apalagi ke bantuan ini tidak hanya menyasar kelompok miskin, tetapi juga kelompok rentan dan hampir miskin.

“Untuk target inflasi, Saya kira, dengan kondisi saat ini, akan berpotensi berada di batas atas, target inflasi pemerintah, Jadi akan berpotensi berada di atas 3% secara tahunan 2022,” jelas Yusuf.

Sebagai informasi, Perusahaan penyedia layanan telekomunikasi, PT XL Axiata Tbk. (EXCL) kenaikan PPN membuat layanan telekomunikasi melakukan penyesuaian tarif. XL menyatakan bahwa mulai 1 April 2022 akan terdapat penyesuaian tarif layanan XL Prioritas. Alhasil seluruh aktivitas transaksi bisnis XL Axiata akan memberlakukan tarif PPN sebesar 11%, sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Adapun Telekomunikasi sendiri tidak termasuk ke dalam barang atau objek pajak yang ditanggung pemerintah, sehingga akan terpengaruh oleh kenaikan PPN.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only