Di Balik Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok

Hanya keledai yang jatuh kedua kali ke lubang yang sama. Pepatah ini sangat populer untuk mengingatkan kita agar mau belajar dari pengalaman atau sejarah. Tetapi, entah karena apa, sepertinya kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Setiap tahun, menjelang bulan Ramadan selalu saja terjadi kenaikan harga berbagai komoditi yang membuat pusing banyak pihak.

Meski pun berbagai keluhan tentang kenaikan harga selalu muncul dan menekan daya beli masyarakat, pola ini terus saja terjadi setiap tahunnya. Dalam seminggu terakhir, dan hari-hari ke depan hingga Lebaran bisa dipastikan harga berbagai komoditi kebutuhan pokok masyarakat akan terus merayap naik. Masyarakat yang belum pulih dari imbas tekanan pandemi Covid-19, bisa dipastikan akan kelenger menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok yang seolah tak pernah tertangani dengan baik.

Pemerintah sebetulnya tidak tinggal diam dan telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah agar harga tidak naik. Namun demikian, ulah spekulan dan kekuatan komersial di balik penguasaan berbagai komoditi kebutuhan pokok masyarakat tampaknya lebih digdaya. Alih-alih berhasil menekan dan menjamin stabilitas harga pangan dan harga komoditi kebutuhan pokok rakyat, yang terjadi justru supremasi kekuatan komersial yang sulit dikendalikan.

Efek domino

Anomali harga jual minyak goreng di pasaran adalah salah satu bukti nyata betapa  lemahnya posisi bargaining pemerintah di hadapan kekuatan komersial. Kita bisa melihat bahwa harga minyak goreng di pasaran belakangan ini terus melambung dan menjadi penyumbang inflasi terbesar.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan laju inflasi nasional sepanjang Maret 2022 tercatat 0,66%. Angka inflasi itu tercatat yang tertinggi sejak Mei 2019 yang sempat mencapai 0,68%.

Angka inflasi ini bukan tidak mungkin meningkat jika pemerintah tidak segera melakukan langkah-langkah taktis untuk meredam efek domino kenaikan harga minyak goreng yang hingga kini tetap bertahan tinggi. Selama ini, upaya yang dikembangkan pemerintah bahkan terkesan plin-plan. Kebijakan pemerintah menetapkan harga minyak goreng Rp 14.000 tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, hingga akhirnya kebijakan ini dicabut.

Sementara di pasaran harga minyak goreng tetap tinggi dan masyarakat tetap harus menanggung beban akibat harga minyak goreng yang memberatkan.

Saat ini, masyarakat golongan menengah ke bawah diprediksi paling menderita karena harus menanggung imbas kenaikan harga minyak goreng yang tak kunjung turun. Dalam beberapa minggu ke depan diperkirakan yang naik tidak hanya harga minyak goreng, tetapi juga harga pangan dan berbagai kebutuhan pokok masyarakat yang lain.

Ada beberapa hal yang diduga akan memicu terjadinya kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat. Pertama, adalah momen menjelang Lebaran dan bulan Ramadan yang setiap tahun selalu diwarnai dengan kenaikan harga pangan dan kebutuhan masyarakat lain akibat meningkatnya perputaran uang dan kebutuhan masyarakat.

Kedua, penerapan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per April 2022 lalu. Kenaikan PPN ini jelas akan menyebabkan harga berbagai komoditi ikut terkantrol naik.

Ketiga, keputusan pemerintah yang menaikan harga BBM jenis Pertamax sekitar Rp 3.500 per liter. Kenaikan harga Pertamax ini, niscaya akan makin terasa dampaknya, terutama jika pemerintah nantinya jadi menaikan harga Pertalite pada bulan Juli dan elpiji tabung 3 kg di bulan September 2022 nanti.

Rentetan berbagai kebijakan pemerintah dan kepentingan kekuatan komersial, ketika saling berkelindan, maka bisa dipastikan efeknya akan menyebabkan daya beli menurun, inflasi naik, dan ujung-ujungnya masyarakat yang menjadi korban.

Untuk mencegah agar masyarakat, terutama keluarga miskin tidak makin menderita dihimpit kenaikan harga kebutuhan pokok, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng. Kebijakan ini dikeluarkan karena saat ini harga minyak goreng tetap tinggi imbas dari ulah spekulan dan lonjakan harga minyak sawit di pasar internasional.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa BLT minyak goreng ditujukan kepada masyarakat yang menerima bantuan pangan non tunai (BPNT) dan program keluarga harapan (PKH). Selain itu, bantuan itu juga diberikan untuk para pelaku UMKM yang berjualan makanan gorengan.

Besar bantuan yang diberikan adalah Rp 100.000 per bulannya selama tiga bulan. Bantuan tersebut akan diberikan sekaligus di muka pada April 2022 sebesar Rp 300.000 untuk periode Maret, April, dan Mei 2022. BLT itu menyasar 20,5 juta keluarga yang masuk kelompok penerima BLT dan Program Keluarga Harapan.

Harapan pemerintah, kebijakan pemberian BLT minyak goreng ini dapat akan bermanfaat sebagai bantalan bagi masyarakat kelompok berpendapatan rendah. Asumsi pemerintah, ketika keluarga-keluarga miskin memperoleh tambahan subsidi sebesar Rp 300.000, maka mereka akan dapat lebih leluasa bernafas menyiasati tekanan kebutuhan hidup.

Di atas kertas, asumsi pemerintah mungkin benar adanya. Tetapi, dalam kenyataan perlu disadari bahwa kondisi riil yang dialami keluarga-keluarga miskin adalah mereka hidup dalam kondisi yang kekurangan, sehingga tambahan Rp 300.000 atau Rp 100.000 per bulan sesungguhnya tidak akan berarti apa-apa.

Di berbagai daerah, yang namanya keluarga miskin bukan berarti mereka sekadar tidak memiliki tabungan. Selain tidak memiliki tabungan dan modal, yang dialami keluarga miskin adalah mereka rata-rata sudah masuk dalam perangkap utang yang ratusan ribu atau jutaan jumlahnya. Sehingga ketika mendapatkan bantuan subsidi Rp 300.000, bisa dipastikan uang itu hanya akan bertahan 1-2 hari saja di tangan keluarga miskin karena harus segera dipakai untuk membayar utang ke warung, toko atau pihak lain.

Untuk memastikan agar keluarga-keluarga miskin tidak terpuruk dan masuk dalam pusaran kemiskinan yang makin kronis, yang dibutuhkan mereka sesungguhnya bukan kebijakan yang sifatnya instant dan bersifat amal-karitatif. Kesungguhan pemerintah melakukan deteksi dini dan menyelesaikan persoalan kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat di akar masalah adalah langkah yang lebih dibutuhkan daripada sekadar kebijakan reaktif yang tidak substansial.

Sumber : Harian Kontan Rabu 06 April 2022 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only