Pemerintah Akan Terapkan Pajak Karbon Mulai Juli 2022, Bagaimana Dampaknya ke PLTU?

JAKARTA. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada 1 Juli 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi atau cap & tax. Adapun tarif pajak karbon ini Rp 30 per kilogram  karbon dioksida ekuivalen. 

Asal tahu saja, sebelumnya pemerintah akan melaksanakan pajak karbon pada 1 April 2022, tetapi pelaksanannya tertunda menjadi Juli mendatang. 

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, mundurnya pelaksanaan pajak karbon yang awalnya April menjadi Juli 2022 karena aturan untuk pelaksanaannya memang belum selesai dibahas. 

“Sebagaimana diketahui, penerapan pajak karbon sesuai dengan rencana pemerintah dimulai berlaku 1 April tetapi memang perlu ada beberapa aturan pelaksana. Misalnya saja, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai cara dan mekanisme pengenaan pajak karbon kemudian juga PP tentang subjek dan alokasi pajak karbon harus dipersiapkan juga,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (7/6). 

Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021, antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 

Menurut Fabby, aturan-aturan tersebut penting untuk memastikan dasar hukum mekanisme menjalankan dan menerapkan pajak karbon. 

Pada penerapannya nanti, dasar hukum tersebut  penting untuk sertifikat izin emisi dan sertifikat penurunan emisi sehingga bisa diperjualbelikan. 

Fabby memaparkan, penerapan pajak karbon yang akan dilaksanakan berdasarkan batas emisi (cap and tax) tidak serta-merta membuat perusahaan yang mengoperasikan PLTU harus mengeluarkan dana lebih. Dasar pajak karbon bukan pada seluruh emisi yang dikeluarkan oleh PLTU tersebut, melaikan kelebihan emisi dari batas ambang emisi yang telah ditetapkan. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan klasifikasi penetapan pajak karbon untuk PLTU batubara. Berikut perinciannya, pertama, PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW nilai batasan emisinya sebesar 0,918 ton CO2 per MegaWatt-hour (MWh). 

Kedua, PLTU dengan kapasitas 100 MW-400 MW dengan nilai batasan emisi 1,013 ton CO2/MWh. Ketiga, PLTU Mulut Tambang 100 MW hingga 400 MW nilai batasan emisi 1.094 ton CO2/MWh. 

Sedangkan untuk PLTU dengan kapasitas 25 MW hingga 100 MW rencananya akan diterpakan pajak karbon pada 2023 karena kapasitasnya kecil dan dinilai sebagai tulang punggung supply kelistrikan di luar Pulau Jawa. 

Menurut Fabby batasan emisi yang sudah ditetapkan saat ini tidak terlalu tinggi sehingga ruang untuk mencapai ketentuan batasan emisi itu mash sangat besar. Oleh karena itu, PLTU bisa melakukan langkah retrofit dan efisiensi internal.

Fabby menilai, dengan pelaksanaan cap & tax ini mendorong setiap pembangkit  memperbaiki operasi dengan berbagai cara. Misalnya dari sisi teknis meningkatkan efisiensi pembangkit yang kemudian bisa menurunkan konsumsi bahan bakar atau mengganti bahan bakar dengan biomassa sehingga emisinya turun di bawah batas emisi (cap). 

“Jadi, kalau hitungan emisinya memenuhi dengan yang ditetapkan perusahaan tersebut tidak membayar pajak karbon. Sedangkan jika tidak memenuhi batas emisi bisa membeli sertifikat penurunan emisi dari pembangkit lain yang menurunkan. Lantas jika sudah beli tetapi tidak cukup, barulah perusahaan yang bersangkutan membayar pajak karbon,” ujarnya. 

Menurut Fabby, melihat struktur besaran batas emisi saat ini, biaya untuk menurunkan emisi tidak besar, bahkan kalau pembangkit bisa melakukan efisiensi dan retrofit yang kemudian berdmapak pada pengurangan konsumsi bahan bakar, sebenarnya PLTU akan untung. 

Sebab konsumsi batubaranya akan lebih rendah yang artinya fuel cost bisa ditekan sehingga dapat menekan emisi dan di saat yang bersamaan biaya operasional turun. 

Fabby berpesan, setelah setahun kebijakan ini diterapkan, pemerintah perlu mengevaluasi batas emisi atau menjadi lebih diperketat, katakanlah 15% lebih rendah dari yang saat ini. Dengan ini PLTU dapat mengkaji pilihan-pilihan untuk memodifikasi pembangkit menjadi lebih rendah karbon. 

Perihal tertundanya beberapa PLTU yang seharusnya sudah Commercial Operation Date (COD), Fabby menilai lebih dikarenakan isu over capacity listrik sehingga PLN menunda COD yang seharusnya tahun lalu menjadi di akhir tahun ini. 

Menurut Fabby, PLTU yang akan beroperasi dalam waktu dekat, pembangkit yang dibangun dengan teknologi baru dan efisien sehingga emisi yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan dengan PLTU lain. 

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only