Maju Mundur Penerapan Pungutan Pajak Baru

Pemerintah menunda kebijakan pajak karbon hingga cukai plastik dan minuman berpemanis.

JAKARTA. Pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan perpajakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebagian kebijakan, memang mulai diimplementasikan. Namun, ada beberapa kebijakan terutama pengenaan tarif pajak baru, yang belum jelas kapan implementasinya dilakukan, bahkan ada juga yang sudah pasti dibatalkan.

Teranyar, pemerintah memutuskan untuk batal mengimplementasikan kebijakan pajak karbon, dari rencana penerapan mulai 1 Juli 2022. Ini merupakan pembatalan kedua dari rencana 1 April 2022 sesuai amanat UU HPP.

Beberapa kendala penerapan pajak baru ini adalah regulasi yang belum rampung , selain itu pemerintah melihat adanya risiko perlambatan perekonomian global. Sedianya, pajak karbon pada tahap awal menyasar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan tarif Rp 30.000 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).

Pemerintah juga batal mengimplementasikan kebijakan pungutan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan pada tahun ini, setelah rencana ini dimasukkan ke dalam UU HPP. Meskipun batalnya implementasi pungutan cukai tersebut, memang bukan kali pertama.Kebijakan pajak lainnya yang belum jelas kapan akan diterapkan adalah pengenaan pajak atas fasilitas yang diberikan perusahaan pada karyawan atau pegawai yang biasa disebut natura.

Kebijakan ini juga masuk dalam UU HPP, meski tidak ditargetkan secara lebih terperinci mengenai waktu penerapannya.

Saat tumbuh pesat

Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ajib Hamdani menilai bahwa penundaan pajak karbon bukan menjadi opsi yang ideal. Sebab, UU HPP telah mengamanatkan kebijakan pajak karbon diterapkan 1 April 2022.

“UU HPP ini sudah disahkan sejak Oktober 2021. Pemerintah relatif punya cukup waktu untuk membuat formulasi kebijakan. Harus ada komitmen dari pemerintah dan kepastian hukum yang berkelanjutan dari aturan turunan atas UU HPP tersebut,” kata Ajib kepada KONTAN, Sabtu (25/6).

Padahal ia menilai, pemerintah sudah konsisten untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada tanggal 1 April 2022. Kebijakan ini juga diatur dalam UU HPP.

“Jangan sampai kebijakan pemerintah yang konsisten menaikkan tarif PPN tetapi di sisi lain menunda pajak karbon, terbaca menjadi sebuah kontradiksi kebijakan fiskal yang kurang berpihak kepada masyarakat luas,” katanya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berasumsi, penundaan beberapa kebijakan tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masih kuatnya kas penerimaan negara, sejalan dengan pemulihan ekonomi yang berlanjut dan tingginya harga komoditas.

Kedua, pemerintah benar-benar memastikan kebijakan yang akan diterapkan, akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. “Untuk hal yang kedua memang penerapan pajak karbon perlu dipastikan agar tidak hanya memberikan dampak kepada lingkungan tetapi juga perlu diukur dampaknya ke konsumen,” tutur Yusuf, kemarin.

Namun menurut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, semua bentuk ekspansi basis pajak akan selalu berimbas negatif pada daya beli, harga pasar dan daya saing usaha. Sebab itu ia menilai, perluasan basis pajak sebaiknya dilakukan saat ekonomi tumbuh pesat.

Terlebih saat ini pemerintah memperkirakan penerimaan pajak bisa melebihi target tanpa adanya perluasan basis pajak. Sehingga menurutnya secara empiris tidak ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk melakukan ekspansi penerimaan pajak dalam waktu dekat.

“Kalau salah perhitungan, ekonomi bisa stagnan di paruh kedua 2022,” kata dia.

Sumber : Harian Kontan Senin 27 Juni 2022 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only