Menjaga Inflasi agar Manufaktur Bertaji

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat penerimaan pajak pada paruh pertama tahun ini mengalami pertumbuhan positif hingga double digit. Lonjakan penerimaan pajak ini sebagai salah satu indikator pemulihan ekonomi Indonesia.

Lonjakan penerimaan pajak terutama dari sektor manufaktur atau industri pengolahan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa sektor manufaktur atau industri pengolahan tumbuh sebesar 45,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021 yang naik sebesar 6,2%. Sektor ini juga menjadi andalan pemerintah dalam penerimaan pajak karena kontribusinya mencapai sebesar 29,4%.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, penerimaan pajak dari sektor industri manufaktur ada dua jenis, yaitu pajak penghasilan (PPh) badan dan pajak pertambahan nilai (PPN). Kedua jenis pajak tersebut menjadikan transaksi produk (barang/jasa) sebagai objek pajaknya.

“PPh badan dikenakan atas penjualan dikurangi biaya, sedangkan PPN dikenakan atas penjualannya saja,” katanya, Senin (4/7).

Namun demikian, pada paruh kedua penerimaan pajak dari sektor manufaktur masih berisiko turun terkena dampak inflasi tinggi. Inflasi tinggi menggerus daya beli masyarakat sehingga kemampuan membeli barang yang dihasilkan industri manufaktur juga berkurang.

Walhasil, basis penerimaan PPh dan PPN dari sisi pendapatan akan turun. Oleh karenanya, penerimaan dari kedua jenis pajak tersebut juga akan tertekan.

Selain itu, jika tren inflasi tinggi terus berlanjut akan membuat sektor industri manufaktur menurunkan produksi dan mengerek harga jual produk. Pada gilirannya, langkah tersebut akan membebani konsumen.

Sebaliknya jika harga tidak mungkin dinaikkan karena permintaan turun, maka marjin laba perusahaan yang dikorbankan. Sehingga pada akhirnya, basis penerimaan PPh badan juga turun.

“Penerimaan PPh badan dan PPN sektor manufaktur yang tertekan tersebut dapat ditutup dari penerimaan pajak di sektor lainnya. Misalnya sektor pertambangan migas dan pertambangan mineral batubara,” katanya.

Pengamat Center fo Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyatakan bahwa inflasi global dan pelemahan kurs mata uang rupiah menjadi risiko yang harus dihadapi oleh industri manufaktur. Faktor tersebut juga akan menekan penerimaan pajak. “Kami tidak bisa sebutkan angkanya karena seberapa besar inflasi akan menekan manufaktur. Inflasi juga bergantung pada administered-price seperti harga pertalie, apakah akan dinaikkan atau tidak?,” kata Fajry.

Namun Fajry optimistis Bank Indonesia tetap akan dengan optimal menjaga agar laju inflasi tidak melambung tinggi. Sebab inflasi tinggi akan mengganggu daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

Sumber : Harian Kontan Selasa 05 Juli 2022 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only