Pencantuman NIK Pembeli dalam Faktur Pajak, DJP Sebut untuk Keadilan

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama dalam Podcast Cermati yang diunggah di Youtube DJP, Senin (5/9/2022). (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) kembali menegaskan pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam faktur pajak diperlukan untuk prinsip keadilan.

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan dalam pembuatan faktur pajak setelah berlakunya UU Cipta Kerja, pembeli orang pribadi harus menyampaikan NIK jika mengaku tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

“Kalau orang pribadi yang membeli, dia harus ngasih NIK. Sekarang wajib,” ujarnya dalam Podcast Cermati bertajuk UU Ciptaker Klaster Pajak, Benarkah Memberi Kemudahan? yang diunggah di Youtube DJP, Senin (5/9/2022).

Sesuai dengan perubahan UU PPN yang masuk dalam UU Cipta Kerja, keterangan tentang penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) harus dicantumkan dalam faktur pajak. Salah satu keterangan yang harus dimuat adalah identitas pembeli BKP atau penerima JKP.

Identitas yang dimaksud meliputi nama, alamat, dan NPWP atau NIK atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi. Dalam Pasal 72 PMK 18/2021 diperinci bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai, identitasnya adalah nama, alamat, dan NPWP atau NIK.

Adapun NIK yang dimaksud mempunyai kedudukan yang sama dengan NPWP dalam rangka pembuatan faktur pajak dan pengkreditan pajak masukan.

Sesuai dengan Pasal 64 PMK 18/2021, faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas pembeli BKP atau penerima JKP berupa nama, alamat, dan NIK bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi merupakan faktur pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 UU PPN.

“PPN yang tercantum dalam faktur pajak sebagaimana dimaksud … merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP pembeli BKP atau penerima JKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” bunyi penggalan Pasal 64 ayat (2) PMK 18/2021.

Hestu memberi contoh ada orang pribadi yang membeli semen 100 ton dalam sebulan dan berulang. Namun, orang pribadi tersebut mengaku tidak mempunyai NPWP. Padahal, pembelian semen itu dilakukan untuk usahanya (dijual kembali).

“Nah, ini kan enggak fair buat orang lain yang patuh atau badan yang sudah tertib. Kalau kejadiannya seperti itu maka pabrik wajib meminta NIK. Kan enggak mungkin orang pribadi enggak punya NIK. Ini untuk mendorong dan memperbaiki iklim usaha. Keadilan untuk seluruh pelaku usaha,” jelasnya.

Sumber: DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only