“Perpajakan adalah harga yang dibayar komunitas beradab untuk tetap menjadi beradab,” kata Albert Bushnell Hart, sejarawan Amerika Serikat.
Telah menjadi teori umum bahwa pajak dibutuhkan untuk membiayai anggaran yang berkaitan dengan pembangunan dan kepentingan negara. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi membiayai berbagai program dan layanan publik. Pajak juga memungkinkan pemerintah memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan layanan masyarakat yang diperlukan.
Di sisi lain pajak dapat digunakan sebagai alat pengaturan ekonomi. Dengan mengubah tarif pajak atau memberlakukan insentif perpajakan, pemerintah dapat mendorong atau menghambat perilaku ekonomi tetentu.
Sementara itu berdasarkan prinsip keadilan, ada kesetaraan atau prinsip keadilan horisontal yang diterapkan dalam penetapan pajak. Bahwa individu atau entitas yang berada dalam situasi yang sama seharusnya dikenakan pajak dengan cara yang sama. Artinya, individu atau perusahaan dengan penghasilan atau kekayaan yang setara harus dikenakan pajak dengan tingkat yang serupa. Pendekatan ini berusaha untuk menghindari diskriminasi dalam sistem perpajakan.

Sedangkan berdasar prinsip keadilan vertikal, individu atau perusahaan dengan penghasilan yang lebih tinggi seharusnya membayar lebih banyak pajak dibandingkan dengan mereka yang memiliki penghasilan yang lebih rendah. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang lebih besar mampu memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat melalui pajak.
Prinsip keadilan inilah yang dijadikan pegangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk melansir regulasi teknis tentang pajak natura atau pajak kenikmatan. Pada 5 Juli lalu dalam media briefing Dirjen Pajak Suryo Utomo, didampingi Direktur Peraturan Perpajakan I Hestu Yoga Saksama, dan Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yon Arsal mengumumkan pemberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 66/2023 tentang Perlakuan Pajak penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atas diperoleh dalam bentuk natura dan/atau Kenikmatan.
Disampaikan Yoga, penerapan pajak natura sangat memperhatikan nilai kepantasan yang diterima oleh karyawan. Batasan nilai tersebut telah mempertimbangkan indeks harga beli/purchasing power parity (OECD), Survey Standar Biaya Hidup (BPS), Standar Biaya Masukan (SBU Kemenkeu), Sport Development Index (Kemenpora), dan benchmark beberapa negara.

“Kita di sini mempertimbangkan kepantasan. Tujuannya apa yang saya bold di situ, pemerintah ingin mendorong perusahaan atau pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Silahkan ngasih makanan sebanyak-banyaknya, gitu kira-kira. Boleh dibiayakan bagi perusahaan dan bukan penghasilan bagi karyawannya,” kata Yoga.
“Natura dan atau kenikmatan dalam jenis dan batasan nilai tertentu dikecualikan dari objek pajak penghasilan,” imbuh Direktur P2Humas Ditjen Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti dalam pernyataan resmi, Rabu (5/7/2023).
Dwi menyebutkan bahwa regulasi ini diharapkan memberikan kepastian hukum dan keadilan, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan atau kenikmatan yang kini dapat dibiayakan oleh pemberi kerja. Biaya penggantian atau imbalan tersebut sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).
Sebaliknya, bagi penerima natura dan/atau kenikmatan, hal tersebut merupakan objek pajak penghasilan (PPh). Pengaturan ini mendorong perusahaan/pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan cara memberikan berbagai fasilitas karyawan dan dapat membebankan biaya fasilitas tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
“Pengaturan ini juga memberikan kesetaraan perlakuan sehingga pengenaan PPh atas suatu jenis penghasilan tidak memandang bentuk dari penghasilan tersebut baik dalam uang atau selain uang,” ujarnya.
Sumber : Investor.id
Leave a Reply