Pajak Kenikmatan Membawa Sengsara?

Kementerian Keuangan akhirnya merilis pengaturan lanjutan mengenai pemajakan terhadap natura/kenikmatan. Beleid ini sangat ditunggu oleh fiskus dan wajib pajak agar ketentuan pemajakan natura/kenikmatan yang telah diundangkan lewat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) bisa diaplikasikan.

Sejak berlakunya UU HPP, biaya pemberi kerja terkait natura dan/atau kenikmatan menjadi biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk keperluan fiskal sepanjang dikeluarkan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Di sisi lain, bagi penerima atau penikmat, natura dan/atau kenikmatan menjadi objek pajak penghasilan.

Ada lima natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak bagi si penerima: makanan/minuman/bahan makanan/bahan minuman bagi seluruh pegawai, natura/kenikmatan di daerah tertentu, natura/Kenikmatan untuk keharusan pekerjaan, natura/kenikmatan bersumber/dibiayai APBN/APBD/APB Desa, dan natura/kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Pengecualian ini diatur lebih detail dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan (PMK 66).

Selain itu, PMK 66 mengatur enam hal lain. Pertama, perlakuan pembebanan biaya penggantian atau imbalan dalam betuk natura dan/atau kenikmatan. Dalam PMK 66 ditegaskan pembebanan biaya kenikmatan yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun dilakukan melalui amortisasi, sementara biaya natura dan/atau kenikmatan dengan masa manfaat sampai dengan satu tahun dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran. Selanjutnya terdapat kewajiban bagi pemberi kerja untuk melaporkan biaya tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

Kedua, PMK 66 mempertegas bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan. Pengaturan ini merupakan komitmen pemerintah untuk menciptakan keadilan horizontal dan vertikal untuk mencapai keadilan horizontal dan vertikal yang menjadi dasar pemajakan natura dan/atau kenikmatan.

Dalam sistem perpajakan keadilan horizontal terjadi apabila orang yang memperolah pendapatan yang sama harus membayar pajak yang sama (Elkins, 2016). Sebagai contoh: Pegawai A memperoleh total penghasilan setahun sebesar Rp 70 juta yang semuanya dibayarkan dalam bentuk tunai. Sementara itu, Pegawai B memperoleh penghasilan tunai sebesar Rp 60 juta dan fasilitas sebesar Rp 10 juta. Apabila fasilitas yang diterima Pegawai B tidak dipajaki, maka akan tercipta ketidakadilan horizontal karena dengan jumlah penghasilan (uang dan selain uang) yang sama, jumlah pajak penghasilan yang menjadi beban pegawai A menjadi lebih tinggi.

Pemajakan terhadap natura dan/atau kenikmatan juga menjadi perwujudan keadilan vertikal dalam sistem perpajakan. Keadilan vertikal tercipta apabila pegawai dengan penghasilan lebih tinggi menanggung beban pajak yang lebih tinggi daripada pegawai dengan penghasilan yang lebih rendah (Ordower, 2005). Apabila natura dan/atau kenikmatan tidak dipajaki, progresivitas pajak penghasilan akan semakin berkurang karena realitanya lebih banyak diberikan kepada pegawai level eksekutif.

Ketiga, PMK 66 menjabarkan lebih lanjut mengenai natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan yang sudah diberikan melalui UU HPP dan peraturan pemerintah. PMK ini juga mengatur lebih detil mengenai penerapan dan prosedur pemberian natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu yang dikecualikan dari pengenaan pajak.

Keempat, PMK 66 mengatur batasan tertentu untuk jenis natura dan/kenikmatan yang dikenakan pajak penghasilan. Batasan tertentu tersebut berdasarkan kriteria penerima, nilai, dan/atau fungsi dari natura dan/atau kenikmatan. Kriteria nilai sangat penting karena menjadi threshold pemajakan.

Beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan dikecualikan dari pajak tanpa batasan nilai, artinya semuanya dikecualikan dari objek penghasilan bagi penerima. Jenis natura dan/atau kenikmatan tersebut adalah: (i) makanan/minuman yang disediakan untuk seluruh karyawan di tempat kerja, (ii) pakaian seragam, antar jemput karyawan, peralatan keselamatan kerja, obat-obatan/vaksin dalam penanganan pandemi, (iii) sarana, prasarana, dan fasilitas bagi pegawai beserta keluarga yang bekerja di daerah tertentu termasuk daerah terpencil meliputi sarana, prasarana, dan fasilitas perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, pengangkutan dan olahraga.

(iv) bingkisan hari raya keagamaan meliputi Hari Raya Idulfitri, Natal, Nyepi, Waisak, dan Tahun Baru Imlek, (v) peralatan dan fasilitas kerja seperti laptop, komputer, ponsel, pulsa, dan internet, (vi) fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutannya, (viii) fasilitas tempat tinggal komunal (asrama dan sebagainya),(viii) fasilitas iuran kepada dana pensiun yang ditanggung pemberi kerja bagi pegawai, dan (ix) fasilitas peribadatan antara lain berbentuk musala, masjid, kapel, atau pura yang diperuntukkan semata-mata untuk kegiatan peribadatan

Sementara itu jenis natura dan/atau kenikmatan seperti kupon makanan, bingkisan selain hari raya, fasilitas olahraga, fasilitas tempat tinggal nonkomunal (apartemen/rumah), dan fasilitas kendaraan dikecualikan dari objek pajak penghasilan dengan batasan nilai yang memperhitungkan Indeks Harga Beli/Purchasing Power Parity (OECD), Survei Standar Biaya Hidup (BPS), Standar Biaya Masukan (SBU Kemenkeu), Sport Development Index (Kemenpora), dan benchmark beberapa negara.

Kelima, PMK 66 memberi petunjuk tata cara penilaian dan penghitungan penghasilan serta saat pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan terkait natura dan/atau kenikmatan. Diatur juga mengenai pengecualian pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan yang diperoleh pada masa pajak Januari – Juni 2023. Valuasi dan penghitungan menjadi isu yang cukup kontensius terkait penerapan pajak penghasilan karena dari segi administrasi dianggap akan memberikan beban berlebih pada pemberi kerja (Elkins, 2016).

Dalam PMK 66, natura dinilai dengan nilai pasar untuk natura sedangkan kenikmatan dinilai berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi untuk kenikmatan. Petunjuk penilaian yang cukup detil bisa menurunkan beban kepatuhan bagi pemberi kerja dalam menentukan nilai bagi setiap jenis natura dan/atau kenikmatan.

Keenam, PMK ini mengatur mengenai peralihan dan penutup. Aturan peralihan diperlukan untuk menampung proses penetapan daerah tertentu yang belum diselesaikan pasca berlakunya PMK 66.

PMK 66 memberikan petunjuk praktis agar pelaksanaan pemajakan natura dan/atau kenikmatan dapat terlaksana. Pajak kenikmatan bukan untuk mendatangkan kesengsaraan dengan memberi beban pajak tambahan bagi pekerja, melainkan menciptakan keadilan, menjaga netralitas pajak, dan mendukung peran pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dengan memberikan berbagai fasilitas dan membebankan biaya fasilitas tersebut sebagai pengurang bruto dalam menghitung pajak penghasilan.

Sumber : News.detik.com


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only