Tantangan yang dihadapi pemerintah untuk menyehatkan perekonomian semakin berat. Lihat saja, sejumlah indikator makro memperlihatkan perekonomian Indonesia melambat.
Pada Juni 2024, pertumbuhan ekonomi tersendat menjadi 5,05% year-on-year (yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan Juni 2023 di level 5,17% yoy. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, terus melorot. Di saat yang sama, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa industri terus membesar lihat tabel).
Berdasarkan Laporan LPEM FEB UI, pada 2023, konsumsi kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah adalah 82,3% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Dari sini, calon kelas menengah menyumbang 45,5% dan kelas menengah berkontribusi 36,8%. Ini menandai peningkatan dari 2014, di mana kelompok ini masing masing menyumbang 41,8% dan 34,7% dari konsumsi. Namun, tren tersebut mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir. Porsi konsumsi calon kelas menengah naik dari posisi 42,4% pada 2018. Sebaliknya, porsi konsumsi kelas menengah melorot dari posisi 41,9% di periode yang sama.
“Penurunan ini menunjukkan pengurangan konsumsi kelas menengah, yang mencerminkan potensi penurunan
Kunci mengatasi pelemahan daya beli adalah membuka lapangan kerja.
daya beli mereka,” ujar Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, belum lama ini.
Dus, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi untuk menyehatkan perekonomian Indonesia di tengah badai PHK dan pelemahan daya beli masyarakat.
Chief Economist The Indonesia Économic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai, kunci mengatasi pelemahan daya beli masyarakat menengah adalah lapangan pekerjaan. Hal ini karena pelemahan daya beli masyarakat terjadi karena banyak kelompok menengah kehilangan pekerjaan atau tidak memperoleh pekerjaan. “Kapasitas produksi industri turun, investasi menurun. Jadi, kalau ingin menciptakan lapangan kerja, hidupkan industri. Ciptakan pekerjaan baru untuk mengganti pekerjaan yang hilang,” ujar dia, kemarin.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk menurunkan biaya produksi agar perusahaan bisa beroperasi dan tetap mempekerjakan pegawainya.
Menurut Sunarsip, isu penurunan daya beli jangan dijadikan alasan untuk pemerintah jor-joran menyalurkan bantuan sosial (bansos). Hal ini karena penyaluran,bansos bukan satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. “Fokus gunakan belanja negara untuk job çreation. Hidupkan industri, dorong permintaan domestik melalui program padat karya yang mampu job creation,” terang dia.
Sementara itu, Dekan FEB UI Teguh Dartanto menyarankan pemerintah mempercepat realisasi dan distribusi anggaran pemerintah pusat mau pun daerah untuk berbagai kegiatan. Selain itu, program padat karya musiman (baik melalui program kementerian maupun dana desa) di masa musim kemarau dapat dilakukan untuk menggerakkan perekonomian lokal. “Kemudian, memberikan insentif kepada perusahaan atau industri padat modal agar tidak melakukan PHK,” kata dia.
Pemerintah juga perlu mendorong program perlindungan sosial (perlinsos) yang adaptif di mana kelompok kelas menengah yang terkena PHK dapat diusulkan untuk mendapatkan bansos.
Sejumlah pihak juga menyarankan pemerintah menunda penerapan tarif PPN 12% pada tahun depan.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply