Ditjen Pajak menegaskan bahwa kebijakan pajak UMKM tidak menambah beban pajak baru
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah melakukan finalisasi aturan terkait penunjukkan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi barang oleh pedagang online. Ditjen Pajak memastikan, aturan akan diumumkan secara terbuka dan transparan setelah resmi ditetapkan.
Nantinya, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) orang pribadi yang berjualan di marketplace, akan dipungut tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5%. Namun, pedagang online masih bisa bebas pungutan pajak tersebut. Syaratnya, omzet mereka di bawah Rp 500 juta dalam satu tahun pajak.
Pedagang orang pribadi dalam negeri yang beromzet sampai dengan Rp 500 juta per tahun, tetap tidak dikenakan PPh dalam skema ini, sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemkeu dalam keterangannya, Kamis (26/6).
Adapun ketentuan tersebut, diatur dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Berdasarkan beleid tersebut pula, bagi UMKM dengan penghasilan bruto lebih dari Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak, dikenakan tarif PPh final 0,5%. Lebih lanjut Rosmauli menegaskan, pada prinsipnya
Pedagang online bebas pungutan pajak kalau omzet di bawah Rp 500 juta
PPh dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh oleh wajib pajak. Termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara online.
Lebih sederhana
Sebab itu, kata Rosmauli, kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar tersebut, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Alasannya, proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan.
“Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kenudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru,” jelas Rosmauli.
Rosmauli menambahkan, ketentuan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy, khususnya belum menjalankan kewajib dari pedagang online yang an perpajakan dengan baik, karena kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administratif yang dianggap rumit.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Insititute Ariawan Rahmat mengingatkan, kebijakan ini bisa menimbulkan kompleksitas baru. Sebab, literasi pajak pelaku UMKM masih rendah. Plus, kesiapan sistem marketplace belum seragam dan meningkatnya risiko beban administratif.
Bahkan, menurut Ariawan, ada potensi pelaku UMKM kembali ke jalur penjualan non platform, seperti media sosial, yang lebih sulit diawasi. Sebab itu, ia menyarankan pemerintah berhati-hati dalam melakukan sosialisasi kebijakan perpajakan ini.
园
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply