Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menyayangkan keputusan pemerintah untuk menunda pelaksanaan pajak karbon pada Juli 2022 lalu. Menurutnya, penerapan pajak karbon dapat menjadi alternatif baru pembiayaan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.
“Pajak karbon itu salah satu cara untuk mengurangi beban pembiayaan (EBT),” kata Bhima dalam acara Polemik Transisi Energi Terbarukan dalam Perpres 112/2022 di Jakarta, Selasa (4/10).
Bhima menambahkan, pajak karbon juga menjadi pelecut bagi industri untuk mengurangi penggunaan sumber energi fosil, terutama batubara dan minyak bumi. “Kan selama ini sumber utama listrik yang dipakai industri masih berbasis batubara,” ungkapnya.
Untuk itu, pihaknya mempertanyakan sikap pemerintah yang tak kunjung berani menerapkan pajak karbon. Tercatat, pemerintah sudah dua kali membatalkan penerapan pajak karbon di tahun ini.
Diketahui, pemerintah kembali menunda implementasi pajak karbon, karena ekonomi masih belum stabil akibat ketidakpastian global. Sehingga pemerintah masih menunggu momen yang pas untuk bisa merealisasikan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Karena ketidakpastian ekonomi global, penerapan pajak karbon telah ditunda,” kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso dalam Webinar CGS-CIMB: Balancing Between Economics Development and Green Policy, Jakarta, Selasa (9/8).
Adi menuturkan saat ini pemerintah masih akan terus memantau kondisi ekonomi dalam negeri. Pemerintah ingin penerapan pajak karbon tidak menjadi beban baru sektor yang menjadi sasaran utama, yakni pembangkit listrik berbasis batubara.
Sambil menunggu, pemerintah terus merumuskan peraturan yang diterapkan jika pajak karbon telah berlaku. Sehingga akan makin menyempurnakan pemberlakuannya nanti.
Sumber : Merdeka.com
Leave a Reply