Pelaku Industri Butuh Aturan Turunan Kendaraan Listrik

JAKARTA – Pelaku industri mengharapkan kementerian teknis segera menerbitkan kebijakan atau regulasi pendukung sebagai turunan dari Perpres No 55/2019. Kebijakan tersebut harus berdasarkan aspek kajian pada semua proses industri, input, output dan proses pabrikasi.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan mengatakan regulasi Perpres No 55/2019 bisa menjadi langkah awal untuk menjadikan Indonesia pemain utama kendaraan listrik di ASEAN. Namun aturan turunan yang tepat juga dibutuhkan sehingga terbangun struktur industri kendaraan listrik yang ideal dan berkelanjutan.

“Indonesia perlu meniru Thailand dengan mengeluarkan kebijakan yang serupa sebagai implementasi Perpres No 55/2019 agar bisa berkompetisi dengan Thailand dalam produksi kendaraan listrik,” kata Johnny di Jakarta, kemarin.

Dia membandingkan dengan Pemerintah Thailand yang mengobral sejumlah insentif terbaru. Perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik mendapatkan insentif bebas pajak 6-10 tahun apabila mereka menghasilkan komponen utama, seperti baterai dan kereta listrik di dalam negeri.

Kemudian mesin yang diperlukan untuk memproduksi semua jenis kendaraan listrik dibebaskan dari tarif impor. “Saat ini Indonesia masih berada di bawah Thailand dari sisi produksi maupun ekspor automotif,” ujar Johnny

Dia memaparkan, pada 2018 produksi kendaraan Thailand mencapai 2,1 juta unit, sedangkan Indonesia baru 1,3 juta unit. Produksi kendaraan Thailand lebih bersaing di pasar global. Hal ini terlihat pada ekspor yang mencapai 53% dari jumlah produksi tahun 2018.

Sementara itu, produksi kendaraan Indonesia lebih banyak dipasarkan di dalam negeri dengan porsi 74%, sedangkan ekspornya baru mencapai 26%. “Majunya industri kendaraan Thailand tidak terlepas dari dukungan kebijakan yang berpihak pada industri,” jelasnya. Lebih lanjut dia juga mencontohkan sejumlah insentif yang diberikan Pemerintah Thailand untuk mendorong daya saing industri kendaraan listrik.

Sejumlah kebijakan dikeluarkan Pemerintah Thailand, antara lain berupa insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen, dukungan pada kegiatan riset dan pengembangan dengan memberikan insentif pajak penghasilan minimal tiga tahun dan insentif perpajakan berdasarkan lokasi pabrik. “Semakin jauh lokasi pabrik dari Bangkok, insentif yang diberikan juga semakin besar,” katanya.

Kadin juga berharap pemerintah bisa melakukan percepatan dalam hal Roadmap Battery Electric Vehicle (BEV), tanpa harus menunggu kesiapan industri komponen utama. Pasalnya, negara-negara lain juga telah memulai langkah serupa untuk menyambut era mobil listrik, termasuk Thailand.

Indonesia perlu mempertimbangkan adanya perjanjian perdagangan bebas kawasan. Roadmap ini bisa mencakup kategori kendaraan LCEV, HEV, PHEV DAN BEV juga. “Kendaraan listrik menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi produsen utama aitomotif di kawasan Asia Tenggara. Namun untuk mencapai target tersebut terdapat sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan,” ujarnya.

Dia menjelaskan sudah ada minat terbuka yang diutarakan sejumlah produsen utama kendaraan nasional untuk mendukung program kendaraan listrik. Langkah itu diambil setelah melihat upaya Pemerintah yang sangat serius dalam mentransformasi sektor transportasi dari kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik.

Menurutnya, dari sisi kekayaan material atau sumber daya alam cukup mendukung Indonesia menjadi produsen komponen utama mobil listrik, yaitu baterai lithium. Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki kapasitas penting untuk menjadi salah satu pemain utama dalam rantai nilai kendaraan listrik global.

“60% biaya produksi komponen kendaraan listrik ada pada baterai. Dari sini Indonesia sudah memiliki daya saing yang kuat. Karena jika komponen baterai diimpor dari luar, biaya produksinya akan sangat mahal,” terangnya.

Namun menurutnya, potensi Indonesia tidak sebatas pada industri komponen. Indonesia bisa berperan lebih besar sebagai produsen kendaraan, baik untuk sepeda motor maupun mobil. Namun ini membutuhkan sinergi pemerintah dan industri. Karena industri baru akan bisa merealisasikan target bila telah ada panduan kebijakan yang jelas.

“Saat ini pelaku industri automotif belum dapat membuat keputusan riil untuk investasi kendaraan listrik tersebut. Pelaku industri masih menanti turunan kebijakan sektoral dan teknis serta insentif apa yang akan diberikan pemerintah,” katanya.

Sumber : sindonews.com


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only