Sri Mulyani ungkap strategi pemerintah antisipasi ketidakpastian ekonomi 2020

JAKARTA. Pemerintah menutup Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 dengan mencatatkan defisit sebesar Rp 353 triliun atau 2,2% dari PDB. Defisit anggaran mengalami pelebaran dari yang direncanakan yaitu Rp 296 triliun atau 1,84% dari PDB.

Oleh karena itu, realisasi pembiayaan pemerintah pun ikut membengkak menjadi Rp 399,5 triliun untuk mengantisipasi realisasi defisit APBN yang lebih besar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi pembiayaan tahun lalu memang mengalami kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan rencana awal.

“Ini menyebabkan kita agak sedikit overfinancing sehingga SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran) meningkat cukup besar. Jadi walaupun kita mengalami defisit, tapi kita menyimpan SILPA,” tuturnya, Selasa (28/1).

Tahun 2019, posisi SILPA tercatat sebesar Rp 46,5 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dari posisi SILPA pada tahun 2018 yang sebesar Rp 36,25 triliun.

Kendati demikian, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa situasi APBN diliputi ketidakpastian yang tinggi pada tahun lalu terutama terkait prospek penerimaan negara di tengah perlambatan ekonomi dan sentimen buruk global.

Kondisi seperti itu membuat pemerintah harus mengambil “langkah aman” untuk memastikan APBN tetap berfungsi sebagai instrumen pendorong ekonomi.

“Memang kesulitannya adalah ketika sampai akhir tahun kita terus menghadapi ketidakpastian berapa penerimaan pajak yang akhirnya bisa kita collect. Sementara belanja adalah suatu komitmen yang harus tetap kita biayai sehingga situasi ini membuat kita memilih on the safe-side dan kadang menjadi over-issuance,” ia menjelaskan.

Untuk itu tahun ini, lanjut Sri Mulyani, ia telah meminta kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan agar dapat mengelola pola penerbitan surat utang serta mengelola keseimbangan kas dengan lebih baik agar tidak terjadi overfinancing.

Apalagi, kondisi perekonomian maupun APBN tahun ini masih diselimuti tantangan yang tak berbeda jauh dengan tahun lalu.

“Kita sekarang fokus pada treasury dan cash balance management karena jumlah kas (holding cash) yang terlalu besar juga merupakan bentuk inefisiensi yang harus kita kelola,” tandas Sri Mulyani.

Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional Kemenkeu Suminto menambahkan, dalam menyusun strategi pembiayaan anggaran, DJPPR biasanya memperhatikan dua hal. Pertama, komposisi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang disesuaikan dengan risiko-risiko.

“Misalnya kemarin situasi pasar cukup baik dan bunga murah untuk menerbitkan SBN Valas tapi kan tidak berarti kita terus menambah penerbitannya karena tetap memperhitungkan currency risk,” ujar Suminto.

Kedua, pemerintah juga mempertimbangkan distribusi penerbitan SBN dalam setahun penuh. Meski menempuh kebijakan frontloading, yaitu penerbitan SBN dalam porsi lebih besar pada awal tahun, tak berarti pula pemerintah menarik utang secara berlebihan di semester pertama.

“Jadi jangan sampai juga frontloading terlalu besar karena malah akan menjadi idle cash atau dana menganggur. Namun pada dasarnya soal posisi SILPA di akhir tahun, DJPPR sudah memperhitungkan berdasarkan ALM (asset liability management) yang dilakukan,” tandasnya.

Sumber KONTAN.CO.ID


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only