Ini kendala menahun perdagangan komoditi berjangka yang belum rampung

JAKARTA. Tahun ini perdagangan komoditi berjangka masih harus menghadapi masalah klasik yang sama yakni jumlah partisipasi investor terhadap produk-produk berjangka.

Menurut Direktur Bursa Berjangka Jakarta Donny Raymond kendala yang dihadapi oleh industri perdagangan komoditi berjangka masih akan sama seperti tahun sebelumnya yaitu jumlah partisipasi yang minim dari masyarakat maupun pihak terkait dalam perdagangan.

“Partisipasi pelaku pasar fisik yaitu produsen, processor, pedagang, dan konsumen sangat penting terutama dari pelaku pasar yang komoditinya menjadi underlying produk kontrak berjangka,” jelasnya.

Kendala lainnya adalah dorongan dari instansi terkait untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap pasar komoditi yang masih minim. Otoritas terkait yakni Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dinilai sudah bekerja maksimal. Tapi jika tidak didukung oleh instansi lain maka akan sulit untuk memajukan perdagangan komoditi berjangka.

Donny menambahkan, pemerintah juga dapat berkontribusi baik dalam bentuk insentif maupun mandatori. “Kendati dari otoritas dalam hal ini Bappebti selama ini sudah sangat mendukung, namun dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya diperlukan dukungan instansi lain,” kata dia.

Insentif yang dimaksud dapat berupa pengurangan pengenaan pajak penghasil (PPh). Pada peraturan sebelumnya mengenai PPh final, pengenaan PPh terhadap transaksi derivatif sebesar 2,5% terhadap margin awal.

Besaran tersebut dinilai kurang kompetitif. Jika dibandingkan dengan tarif pemungutan PPh final di Bursa Efek Indonesia (BEI) saja senilai 0,1%.

Sebetulnya pihak Asosiasi Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia (Aspebtindo) telah mengajukan usulan dasar pengenaan pajak baru. Dalam usulan terbaru, dasar pengenaan pajak sebesar 0,1% dibagi dua sehingga 0,05% untuk jual maupun beli.

Manager Learning Center Indonesia Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) Anang E. Wicaksono mengatakan hal serupa. Menurutnya partisipasi aktif dari masyarakat sangat penting untuk meningkatkan likuiditas. “Adanya jurang antara literasi dan inklusi finansial membuat masyarakat kurang begitu siap terhadap layanan finansial termasuk perdagangan komoditi berjangka,” tuturnya.

Anang menambahkan jika edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat tidak gencar dilakukan volume pertumbuhan industri akan stagnan. Menurutnya, industri komoditas berjangka relatif stagnan semenjak tahun 2013 karena minimnya sosialisasi.

Faktor lain yang akan menjadi kendala industri komoditi berjangka adalah minimnya kontra-kotrak berjangka yang ditawarkan. Saat ini saja pihak BKDI baru memiliki empat kontrak berjangka yakni, forex, timah, emas, dan minyak kelapa sawit (CPO). Sedangkan untuk kontrak minyak bumi masih menunggu persetujuan Bappebti untuk izin penjualan.

Namun, tahun ini Anang optimistis partisipasi masyarakat juga jumlah produk berjangka yang ditawarkan meningkat. Dengan itu, volume transaksi untuk perdagangan komoditi berjangka juga akan terkerek.

Instansi terkait seperti Bappebti, Aspebtindo, dan pelaku bursa sudah melakukan standardisasi kurikulum untuk perdagangan komoditi berjangka. Targetnya tahun ini Aspebtindo juga akan menjadikan perdagangan komoditi berjangka sebagai kurikulum di perguruan tinggi di empat kota.

“Dengan bertambahnya transaksi akan menjadi lebih likuid maka bisa ada proses recovery juga bisa dijadikan lindung nilai,” kata Anang.

Sebagai informasi, transaksi multilateral BBJ dan BKDI mengalami peningkatan yoy. BBJ mencatatkan peningkatan sebesar sebesar 9,89 % yaitu 1.468.059 lot sedangkan BKDI mencatatkan peningkatan sebesar 47,69% atau naik menjadi 435.315 lot.

Sumber : KONTAN.CO.ID


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only