Ada Lima Poin penting yang mengatur Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PDRD
Jakarta. Pemerintah Pusat akan mengintervensi mekanisme pungutan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) mulai tahun depan. Pemerintah pusat berwenang menyesuaikan tarif bahkan menghapuskan jenis PDRD. Hal ini tertuang di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PDRD. Aturan ini agar menurunkan biaya dan memudahkan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kementerian Koordinator perekonomian Ferry Irawan menjelaskan, kebijakan PDRD ini dirancang agar PSN tidak terlalu membebani fiskal daerah. Ada lima poin penting pengaturan kebijakan PDRD di rancangan beleid turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja tersebut. Pertama, penghapusan retribusi izin gangguan. Tujuannya untuk mendukung kemudahan berusaha lantaran sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Kedua, penyesuaian tarif PDRD oleh pemerintah pusat yang ditetapkan melalui peraturan presiden (Perpres) atas usulank kementerian dan lembaga (K/L) terkait dan sektoral yang bertanggung jawab atas PSN. Perpres ini akan mengatur jenis pajak dan retribusi, besaran penyesuaian tarif, hingga tenggat waktu berlakunya kebijakan PDRD. “Memang ada implikasi ke penerimaan daerah makanya kami batasi ke PSN saja, ada list proyeknya,” kata Ferry, Kamis (17/12) pekan lalu.
Ketiga, pemberian instentif fiskal oleh kepala daerah dalam mendukung kemudahan berinvestasi. Sebelumnya, pemeberian insentif ini ditetapkan dengan peraturan daerah (perda). Namun, dalam UU Nomor 11 Tahun 2020, pemberian fiskal diatur oleh peraturan kepala daerah. Keempat, perbaikan mekanisme evaluasi rancangan peraturan daerah (raperda) dan pengawasan perda. Evaluasi raperda dilakukan tidak bertujuan untuk menguji kesesuaian raperda dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga menguji kesesuaian dengan kebijakan fiskal nasional.
Apabila perda dan peraturan pelaksanaanya tidak sesuai dengan peraturan pemerintah tentang PDRD, maka Menteri Keuangan dan Menteri Dalam negeri akan meminta kepala daerah untuk melakukan perubahan. Ferry mengatakan, kebijakan baru tersebut tidak dipungkiri akan mengganggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Telebih, misalnya pemerintah pusat meminta penyesuaian tarif atau pembebasan untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). “ Untuk memitigasi dampak fiskal daerah lebih jauh, kalau ada shortfall signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) karena ada penyesuaian tarif, di RPP ada support mekanisme APBN melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau lebih spesifik Dana Insentif Daerah (DID), atau bisa juga bentuk yang lain,” ujar Ferry.
Kelima, RPP tentang PDRD pun akan mengatur sanksi untuk pemda yang melanggar ketentuan, yakni penundaaan atau pemotongan DAU atau Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar 10% hingga 15%. Ferry memastikan, RPP PDRD saat ini sudah siap, tinggal menunggu proses harmonisasi paling lama pekan depan. Setelah itu, RPP bisa dibawa ke Presiden Joko Widodo utnuk tandatangani agar bisa segera diimplementasikan di awal 2021.
Jeli memilah PSN
Direktur Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, dengan adanya RPP tentang PDRD jelas telah merenggut kewenangan di otonomi daerah. Namun secara fiskal, stimulus PDRD untuk PSN tidak terlalu membebani daerah. Terlebih, mayoritas daerah di Indonesia juga masih menggantungkan fiskalnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
Namun “ Jangan sampai penurunan PAD karena fasilitas itu malah lewat dari kenaikan TDKK,” kata Tauhid kepada KONTAN, Minggu (20/12). Selain itu, ia juga meminta pemerintah pusat lebih jeli memilah proyek yang mendapatkan fasilitas PDRD. Misalnya, PSN berdampak ekonomi secara signifikan terhadap ekonomi daerah yakni proyek pelabuhan, jalan tol, dan pariwisata.
Senin, 21 Desember 2020
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply