Pengenaan PPN untuk Daging Sapi Disebut Merugikan Pedagang

Merdeka.com – Daging sapi menjadi barang yang disasar untuk dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako. Pengenaan pajak ini karena terdapat selisih harga yang begitu lebar di kedua barang tersebut jika dibandingkan dengan barang kebutuhan pokok lain.

Sekretaris Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) DKI Jakarta, Mufti Bangkit Sanjaya mengatakan, rencana pengenaan PPN ini jelas memukul para pelaku usaha. Sebab dari sisi masalah harga saja, komoditi daging sapi belum selesai. Di mana para pelaku mengusulkan agar harga bisa turun.

Untuk harga daging sapi sendiri sekarang berada dikisaran Rp130.000 – Rp140.000 per kilogram (kg). Dengan harga segitu, konsumen tidak ada yang mau beli. Ini karena memang daya beli masyakat saat ini tidak sedang menurun bahkan cenderung tidak ada.

“Jelas jelas terpukul yak. Pastikan sangat merugikan pedagang. Apalagi saat ini ketika ada wacana seperti itu tentu saja daging ke depannya tidak bisa diprediksi seperti itu untuk harga bisa stabil,” kata Mufti saat dihubungi merdeka.com, Jumat (2/7).

Mufti mengatakan, untuk saat ini hampir industri para pelaku daging dan sapi sudah terpukul akibat pandemi Covid-19. Dengan adanya wacana PPN untuk daging sapi tentu akan menambah beban bagi pelaku usaha.

Selama ini pelaku usaha juga sudah banyak dipajaki. Misalnya untuk sapi yang masuk dari luar negeri kena bea masuk 5 persen. Kemudian para pedagangan yang ingin memotong dikenakan biaya retribusi sesuai dengan pemerintah provinsi dan daerah masing-masing.

“Misanya di Tanggerang dan DKI berbeda. Satu ekor kita kena pajak Rp130.000 – Rp170.000. Belum biaya-biaya lain. Dari mana pemerintah mengatakan sembako khususnya daging belum kena pajak. Dari rantai distribusinya saja sudah dipajakin terus,” jelasnya.

Pelaku usaha pun khawatir ketika PPN dikenakan 12 persen ke 11 komoditi tersebut, ini kan akan memicu inflasi. “Kalau memicu inflasi biasanya dari pasar dulu, pemicunya dari inflasi harga kebutuhan pokok merembet industri lainnya sektor jasa dan barang lainnya,” kata dia.

Untuk itu, dirinya meminta kepada pemerintah agar mencabut rencana perluasan objek pajak untuk sembako dan kesehatan. Karena dia memandang saat ini tidak produktif untuk dikenakan, mengingat masyarakat sedang mengalami pandemi Covid-19 yang luar biasa.

“Kami khawatir ketika ini dipaksakan akan memicu kenaikan harga dan barang jasa lainnya sehingga negara dalam ancaman resesi dan kebangkrutan,” tandasnya.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menyebut bahwa daging sapi dan beras menjadi barang yang disasar untuk dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako. Dia melihat terdapat selisih harga yang begitu lebar di kedua barang tersebut jika dibandingkan dengan barang kebutuhan pokok lain.

Selain itu, dia menilai dua komoditas tersebut memiliki segmentasi orang-orang kaya. Namun, hingga saat ini belum dikenakan pajak.

“Dari 11 bahan kebutuhan pokok yang masuk dalam skema UU saat ini, ada 11. Kemungkinan yang kita kenai itu hanya daging dan beras. Itu yang mudah ya karena kelihatan gap harga yang sangat lebar, kalau telur, susu segar lalu umbi-umbian, sayur-sayuran saya rasa masih sama,” ujar Yustinus dalam webinar bertajuk Dampak RUU PPN Terhadap Industri Strategis Nasional, Kamis (1/7).

Untuk daging lainnya, seperti daging ayam, bebek, dan lain-lain tak akan dikenakan PPN. Sebab ia melihat daging-daging tersebut masih bisa dikonsumsi masyarakat umum. “Kami kemarin fokus pada daging sapi. Dan mempermudahnya impor dengan yang lokal,” ujarnya.

Sumber: merdeka.com, Jumat 2 Juli 2021


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only