Berkelit Dari Defisit

Optimisme pemerintah untuk mewujudkan surplus keseimbangan primer kembali menguat sejalan dengan pelaksanaan reformasi perpajakan yang tertuang di dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kalangan pengusaha berpendapat, pen capaian surplus keseimbangan primer akan menjadi penanda berakhirnya tekanan ekonomi aki bat pandemi Covid-19.

Namun, pelaku usaha juga mewaspadai adanya risiko gagalnya target untuk mencapai keseimbangan baru sejalan dengan tingginya ke tidakpastian baik dari sisi domestik maupun global.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, ketidakpastian itu mencakup terhambatnya perdagangan dunia akibat kelangkaan kontainer sehingga bisa mengancam pertumbuhan ekonomi.

Adapun, dari dalam negeri tantangan yang dihadapi adalah pena-ngan an dampak pandemi Covid-19 dan efektivitas Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Saat ini ketidakpastiannya cukup tinggi, misalnya kuartal II/2021 bagus, tetapi ada serangan varian Delta. Anomalinya banyak,” kata Hariyadi kepada Bisnis, Selasa (12/10).

Menurutnya, ambisi untuk menye imbangkan penerimaan dan belanja bisa terealisasi selama pemerintah mampu menangani dampak dari pandemi Covid-19 dengan maksimal dan memitigasi berbagai risiko eksternal.

Keseimbangan primer adalah selisih antara total penerimaan negara dengan belanja di luar pembayaran belanja bunga utang.

Idealnya, keseimbangan primer berada dalam posisi Rp0 yang menandakan bahwa penerimaan yang dipungut oleh pemerintah mampu untuk mendanai ke butuhan belanja.

Apabila belanja lebih besar ketimbang penerimaan, maka keseimbangan primer mengalami defisit. Pun sebaliknya, jika penerimaan lebih besar maka akan mencatatkan surplus.

Jika ditengok ke periode lalu, ketidakseimbangan antara penerimaan dan belanja mencatatkan defisit sejak 2011. Data keseimbangan primer sempat menunjukkan tren positif pada 2018.

Kala itu, pemerintah mengumumkan adanya surplus, meski kemudian direvisi dan dinyatakan kembali defisit Rp28,6 triliun.

Sejalan dengan implementasi UU HPP, pemerintah menargetkan keseimbangan primer Rp0 atau 0% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025.

KERINGANAN PAJAK

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memandang, pen capaian sasaran pemerintah untuk mewujudkan keseimbangan antara penerimaan dan belanja cukup menantang.

Pasalnya UU HPP mengakomodasi berbagai program keringanan, salah satunya pengungkapan sukarela wajib pajak yang berdampak pada hilangnya potensi penerimaan.

Adapun, dari sisi penerimaan, pemerin tah hanya bisa mengandalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tarif nya meningkat menjadi 11% pada April 2022, serta penambahan lapisan Pajak Penghasilan (PPh) 21.

“Pertumbuhan ekonomi cukup menatang apalagi mengejar batas atas 6%, karena ini dipengaruhi kinerja dari sektor lapangan usaha utama misalnya industri manufaktur,” katanya.

Yusuf menambahkan, gejala deindustrilaisasi dini yang tengah dirasakan Indonesia juga berpengaruh. Faktanya, kontribusi manufaktur pada penerimaan pajak bisa mencapai 28%, tetapi pada periode 2015—2019 rata-rata hanya 5%.

Yusuf menilai realisasi keseimbangan baru tidak cukup hanya disangga oleh UU HPP. “Ini juga ditentukan dari kinerja pertumbuhan sektor lapangan usaha utama.” Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menambahkan, kunci dari target keseimbangan itu ada pada efektivitas dari berbagai program yang ada di dalam UU HPP.

Jika beleid itu diberlakukan dengan tanpa hambatan, maka skenario pemerintah untuk merancang penerimaan pajak agar tax ratio meningkat dan defi sit anggaran ditekan bisa mendorong keseimbangan antara pendapatan dan belanja.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only