Arah Kebijakan Pajak Perlu Pertimbangkan Industri E-Commerce

Jakarta – Arah kebijakan pajak perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan marketplace dalam memperluas bisnisnya.

Hal ini terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 32A yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Perdagangan melalui sistem elektronik merupakan keniscayaan yang harus kita kelola degan baik,” ujar Asisten Deputi Ekonomi Digital, Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin Manangsang dalam diskusi publik mengenai “Arah Kebijakan Pajak E-Commerce: Menimbang Opsi Penunjukan Marketplace Sebagai Pemungut Pajak” yang diadakan Indonesia Services Dialog (ISD) seperti dikutp dalam keterangannya Kamis (22/9/2022).

Rizal mengatakan, tren perkembangan sektor e-commerce harus didukung dengan penciptaan ekosistem ekonomi digital yang kondusif. Dalam hal ini termasuk regulasi dan kebijakan terkait perpajakan guna menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antar pelaku konvensional dan digital.

Dia menambahkan, hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan penerimaan negara melalui kebijakan pajak e-commerce yakni mewujudkan regulasi adil, kompetitif, berkepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan memiliki sistem baik. Kedua, mekanisme pemanfaatan teknologi dengan optimal terutama mengintegrasikan teknologi yang mampu memudahkan publik melakukan kewajiban membayar pajak.

Direktur Eksekutif ISD, Devi Ariyani mengatakan, aturan baru pada UU HPP dapat mengubah tatanan saat ini mengingat tidak jelas merchant mana yang bisa diterapkan pajak pertambahan nilai (PPN). Mereka juga tidak tahu mana yang sudah PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan belum. “Belum jelas juga apa yang akan dilakukan pemerintah bila terjadi kelebihan pembayaran pajak,” ujarnya.

Devi menilai penerapan HPP tidak dapat diimplementasikan terburu-buru karena dapat menimbulkan potensi masalah di lapangan. Selain itu, hubungan marketplace dan merchant adalah kemitraan, bukan hubungan kepegawaian yang memungkinkan marketplace memungut pajak dari mitra kerjanya.

“Yang kami khawatirkan, merchant-merchant ini kembali ke sektor informal atau keluar dari platform marketplace ketika aturan ini dijalankan. Akibatnya transaksi pun tidak tercatat. karena mereka kembali berjualan secara offline atau lewat jalur lain seperti socmed,” lanjut Devi.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Peneliti Indonesian Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Adrianto Dwi Nugroho menjelaskan Pasal 32A UU HPP menunjuk tiga pihak untuk pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak yakni marketplace, fintech dan content creator. Dimensi dari aturan ini masih prematur karena status dari merchant di marketplace yang rata-rata merupakan pelaku UMKM belum dapat ditentukan apakah termasuk PKP atau bukan.

“Pertanyaannya, apakah seller di marketplace ini layak atau tidak dipungut pajak? Mereka harus berstatus PKP jika akan dikenai pajak. Selain itu, banyak pelaku UMKM yang bergabung di lebih dari satu marketplace. Hal ini juga akan menimbulkan multitarif dalam pengenaan pajak kepada pelaku UMKM. Perlu pendalaman dan perlu perubahan dalam norma baik dalam PPh atau PPN,” ujarnya.

Sumber : Beritasatu.com


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only