Musim Dingin Transaksi Kripto, Pedagang Desak Kesetaraan Pengenaan Pajak

Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda mengungkapkan sejumlah faktor yang menyebabkan transaksi aset kripto di dalam negeri anjlok. Salah satunya pengenaan pajak terhadap aset kripto yang belum setara.

Teguh berujar, berdasarkan data internal Aspakrindo, pajak menyebabkan efek berkepanjangan bagi pedagang atau exchange kripto lokal ketimbang global. Volume transaksi exchange lokal belum bisa rebound setelah pajak diberlakukan, berbeda dengan global.

“Kami terus mendorong penegakan penerapan pajak kepada exchange global dan tidak terdaftar, sehingga menghasilkan equal playing field,” kata Teguh dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 8 Oktober 2022.

Menurut Teguh, fee atau biaya transaksi ditambah pajak yang diterapkan oleh exchange lokal kalah kompetitif dengan exchange global yang jauh lebih rendah dengan rata rata trading fee. Inilah yang membuat nasabah beralih untuk mencari cost trading termurah.

Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022, exchanger yang berkedudukan di luar Indonesia dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak pertambahan nilai atau PPN. PMK itu juga dapat memberikan fasilitas perpajakan yang lebih mendukung bagi pasar uang kripto dalam rangka membentuk likuiditas di Indonesia.

Meski demikian secara umum, Teguh mengakui pengenaan pajak terhadap aset kripto adalah hal yang baik. Sebab kebijakan ini mampu memberikan kontribusi bagi negara. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah berhasil mengantongi penerimaan negara dari pajak kripto sebesar Rp 126,7 miliar per Agustus 2022.

“Pada dasarnya, kami sebagai pelaku industri aset kripto di Indonesia, senang dengan adanya regulasi pajak kripto. Dengan begitu, industri kripto bisa lebih legitimate dan dapat membantu menambah penerimaan negara dari sektor pajak,” tutur Teguh. 

Selain persoalan pajak, Teguh mengatakan penurunan volume transaksi kripto di Indonesia merupakan efek domino dari tekanan ekonomi global. Market kripto global tengah dihantam situasi makroekonomi yang kurang baik sepanjang tahun ini.

“Guncangan sistem keuangan global bisa memberikan efek cukup besar bagi pasar kripto. Guncangan tersebut adalah situasi makroekonomi yang goyah akibat resesi dan geopolitik yang memanas. Hal ini bisa membuat situasi crypto winter bisa terjadi,” ujarnya.

Market kripto yang lesu, kata Teguh, turut didorong oleh kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) yang membuat investor kurang bergairah. Merujuk data Statista, Teguh berujar, Amerika memiliki volume perdagangan Bitcoin terbanyak di bursa.

Dengan demikian, pengetatan kebijakan The Fed dengan menaikkan suku bunga acuannya guna menekan inflasi bisa mengancam pasar kripto. Kenaikan suku bunga pun akhirnya menyebabkan harga komoditas terkerek lebih tinggi dan daya beli kian melemah. Walhasil, investor akan menjauhi market.

“Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat investor untuk wait and see. Ini yang mulai terasa di Indonesia, investor memilih menunggu momen yang tepat untuk masuk kembali ke market kripto, di saat situasi makroekonomi sudah stabil,” ujar dia.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai transaksi perdagangan aset kripto mencapai Rp 859,5 triliun pada 2021. Sedangkan pada Januari—Agustus 2022, nilainya menembus Rp 249,3 triliun atau turun 56,35 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Sementara itu dari sisi jumlah investor, per Agustus 2022, terdapat 16,1 juta pelanggan dengan rata-rata kenaikan pelanggan 725 ribu per bulan. Artinya, jumlah investor kripto di Indonesia terus mengalami pertumbuhan kendati transaksinya lesu.

Sumber : Tempo.co


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only