Setiap kali bank sentral Amerika Serikat atau The Fed menaikkan tingkat suku bunga, dampaknya langsung terasa ke berbagai negara. Utamanya negara-negara berkembang dan bisa memicu krisis keuangan.
“Dalam 30 atau 40 tahun terakhir, setiap kali Federal Reserve menaikkan suku bunga mereka, selalu ada korelasi yang cukup kuat dari krisis keuangan di banyak negara berkembang,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara T20 Summit di Washington DC, Senin (10/10) malam.
Sri Mulyani menjelaskan, setiap negara termasuk negara berkembang menjadi pihak yang terdampak ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Berbagai risiko tersebut kini tengah menghantui mereka yang juga masih berusaha bangkit dari dampak pandemi Covid-19.
Dalam kondisi demikian, berbagai negara akhirnya menggunakan instrumen fiskalnya untuk melakukan counter cyclical dengan melebarkan defisit terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Jadi, sekali lagi, (negara) menggunakan jalur fiskal mereka untuk counter cyclical, artinya mereka harus melebarkan defisitnya,” tutur Sri Mulyani.
Kurangi Pengeluaran dan Naikkan Pajak
Sebagai informasi, counter cyclical merupakan upaya mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak ketika kondisi ekonomi sedang booming. Konsep ini juga bermakna meningkatkan pengeluaran dan memangkas pemungutan pajak ketika sedang dalam masa resesi.
Strategi ini kata Sri Mulyani digunakan Pemerintah Indonesia ketika terjadi pandemi Covid-19. Pemerintah dengan izin DPR sepakat memperlebar defisit APBN di atas 3 persen selama 3 tahun yakni 2020-2022.
Sehingga di tahun 2023, defisit fiskal kembali mengikuti aturan yakni kembali di bawah 3 persen dari APBN tahun berjalan. “Tiga persen ini adalah disiplin fiskal yang telah kami adopsi selama 20 tahun,” katanya.
Sumber : merdeka.com
Leave a Reply