Upaya pemerintah dalam menarik pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau perusahaan digital nyatanya masih terganjal oleh maraknya jasa digital bajakan alias ilegal.
Pasalnya, banyak akun premium layanan streaming film hingga musik seperti Netflix dan Spotify yang diperjualbelikan dengan harga yang lebih murah dibandingkan platform resmi.
Padahal, platform Netflix dan Spotify ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE sehingga harus menyetorkan pajak ke kas negara.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengakui bahwa maraknya saluran ilegal menjadi salah satu alasan penerimaan PPN PMSE di Indonesia belum optimal.
“Pastinya saluran ilegal akan mengurangi penerimaan pajak PPN PMSE,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Rabu (27/8).
Hal ini tentu akan diperparah jika tingkat acceptance masyarakat Indonesia terhadap produk ilegal tinggi dan cross elasticity-nya juga cukup tinggi. Ini diindikasikan saat pengenaan PPN PMSE sebesar 10% pada tahun 2020, namun kenaikan harganya tidak sampai 10%.
“Artinya, sebagian beban PPN ditanggung oleh pengusaha. Dalam ekonomi ini disebut sebagai backward shifting,” jelas Fajry.
Untuk diketahui, sejak diimplementasikan pada tahun 2020, penerimaan pajak dari PPN PMSE yang masuk ke kas negara telah mencapai Rp 14,57 triliun sampai akhir Agustus 2023. Setoran tersebut berasal dari 158 pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk secara resmi untuk melakukan pemungutan.
Hanya saja, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai realisasi tersebut masih jauh dari kata optimal. Padahal, ekonomi digital Indonesia akan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) senilai US$ 77 miliar atau setara Rp 1.178 triliun pada 2022.
Artinya, penerimaan pajak PPN PMSE baru mencapai 1,2% dari proyeksi GMV. Padahal, kata Bhima, pemerintah seharusnya bisa mengantongi penerimaan PPN PMSE mencapai Rp 129,5 triliun apabila menggunakan tarif PPN 11%.
Menurutnya, belum optimalnya penerimaan PPN PMSE tersebut diakibatkan masih maraknya jasa digital bajakan yang banyak ditemui di media sosial maupun e-commerce. Hal ini menjadi masalah yang kerap terjadi lantaran penegakan hukum soal bajakan masih sangat lemah.
“Maraknya jasa digital bajakan memang sangat menggerus pendapatan PMSE,” terang Bhima.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menambahkan, setiap kebijakan pajak itu bersifat distortif. Artinya, penerapan pajak apapun akan memengaruhi perilaku masyarakat. Perilaku oportunistik tersebut di antaranya adalah jasa digital bajakan agar tidak terkena PPN PMSE ataupun underground economy.
“Kondisi demikian tentu saja dapat menggerus penerimaan PPN PMSE,” imbuh Prianto.
Sumber : Nasional.kontan.co.id
Leave a Reply