Jakarta. Sejak reformasi pada 1983, sistem perpajakan di Indonesia resmi beralih dari official assessment menjadi self assessment. Sistem perpajakan yang semula menitikberatkan pada pembayaran pajak berdasarkan penetapan oleh petugas pajak kemudian berubah menjadi sistem yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.
Landasan filosofis perubahan sistem perpajakan ini adalah ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Asas kebersamaan (gotong royong) dan kekeluargaan inilah yang menjadi landasan filosofis pemberian kepercayaan kepada para Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mandiri. Di samping itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, self assessment juga dapat dipandang sebagai hak setiap orang untuk melindungi “harta benda yang di bawah kekuasaannya.”
Dalam tataran praktis, pelaksanaan self assessment oleh Wajib Pajak terdiri dari tiga langkah utama yaitu pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan. Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat objektif dan subjektif wajib melakukan pendaftaran. Kemudian, apabila terdapat perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak terutang (tatbestand), maka harus dilakukan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui pembayaran pajak oleh diri sendiri maupun pemotongan atau pemungutan oleh pihak lain. Terakhir, seluruh pelaksanaan kewajiban perpajakan tersebut kemudian dilaporkan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
Jaminan hukum pelaksanaan sistem self assessment kemudian diatur dalam norma hukum Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pasal ini intinya mengatur bahwa pembayaran pajak merupakan kewajiban yang dilakukan Wajib Pajak dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak dan SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini berarti bahwa inisiasi pemenuhan kewajiban perpajakan berawal dari Wajib Pajak sehingga penerbitan surat ketetapan pajak hanya akan dilakukan secara terbatas pada SPT yang tidak benar atau berdasarkan data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Mengandalkan Kepatuhan
Sistem self assessment sangat mengandalkan kepatuhan dari Wajib Pajak sehingga mekanisme check and balances tetap diperlukan sebagai penyeimbang untuk memastikan bahwa pelaksanaan self assessment telah sesuai ketentuan yang berlaku. Prosedur pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak adalah kegiatan inti dalam mekanisme check and balances tersebut.
Kegiatan pemeriksaan merupakan kegiatan menguji SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dan/atau menguji data-data fiskal yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kaitannya dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Hal ini dipertegas dengan susunan Pasal 12 UU KUP di mana ayat (1) dan ayat (2) menjelaskan mengenai self assessment sementara ayat (3) menjelaskan mengenai penetapan oleh DJP (official assessment) apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak yang terutang pada SPT ternyata tidak benar.
Perlu juga dipahami bahwa ada beberapa asumsi dasar yang membentuk self assessment antara lain pengetahuan pajak (tax knowledge), kesadaran pajak (tax consciousness), kejujuran (honesty), hasrat membayar pajak (tax mindedness), disiplin pajak (tax discipline), moral dan etika (tax morale and ethic), serta kemauan (willingness). Keseluruhan asumsi ini menjadi fondasi dasar keberhasilan pelaksanaan sistem self assessment.
Pemenuhan keseluruhan asumsi tersebut tentunya sangat berat karena mensyaratkan pengetahuan perpajakan yang memadai di samping kesadaran serta kejujuran yang tinggi dari Wajib Pajak. Sementara di sisi lain, otoritas pajak memiliki pengetahuan perpajakan yang relatif lebih tinggi serta kewenangan yang tentunya lebih luas dalam mengakses data-data terkait perpajakan. Apabila perbedaan ini kemudian selalu dieksekusi melalui kegiatan pemeriksaan, maka tentunya akan tidak adil bagi Wajib Pajak yang sebenarnya memiliki kemauan untuk patuh namun terkendala karena tingkat pengetahuan perpajakan yang belum memadai.
Untuk itu, diperlukan kegiatan edukasi dan pengawasan sebagai kegiatan antara yang masih dalam koridor self assessment sebelum otoritas pajak menggunakan kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan. Fungsi pengawasan juga merupakan bagian dari asas keterbukaan dalam penyelenggaraan layanan publik.
UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mendefinisikan asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Kegiatan pengawasan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi data perpajakan yang teradministrasi dalam basis data otoritas pajak serta memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi atas data tersebut.
Konkretnya, dalam kegiatan pengawasan, DJP akan mengirimkan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) yang berisi data-data yang dimiliki oleh DJP terkait pemenuhan kewajiban perpajakan yang perlu diklarifikasi oleh Wajib Pajak. Dasar hukum kegiatan pengawasan dapat dilihat pada penjelasan umum UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP. Pada penjelasan umum ini, kegiatan pengawasan merupakan salah satu kewajiban DJP sebagai otoritas pajak disamping melakukan pembinaan, pelayanan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penjelasan Pasal 8 ayat (1) kemudian menegaskan bahwa kegiatan pengawasan masih menjadi bagian dari sistem self assessment karena memberikan cukup waktu kepada Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan SPT-nya apabila terdapat kesalahan sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui. Pada akhirnya sistem self assessment dan pengawasan oleh otoritas pajak merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pengawasan menjadi konsekuensi logis dari pemberian kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung kewajiban perpajakannya sendiri. Kepercayaan tersebutlah yang kemudian harus dibayar oleh para Wajib Pajak melalui pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang akan berakhir pada 31 Maret nanti. Mari segera laporkan SPT Anda.
Sumber : detik.com
Leave a Reply